Kondisi koridor lantai satu yang masih sepi, membuat lelaki bermata hazel itu dapat dengan tenang berjalan menuju kelasnya. Dia tidak perlu menghadapi siswa-siswi hyperactive yang kepo dan kurang kerjaan, sebelum tiba di kelas.
Pagi yang tenang dan damai.
Sam, itulah panggilan akrab dari orang-orang untuknya. Jadi sebut saja dia Sam.
Saat tengah berjalan di koridor, mata Sam berlabuh pada suatu titik. Dimana tiga orang gadis berseragam sekolah asing sedang berdiri dengan gaya angkuh mereka di depan seorang gadis lain yang mengenakan seragam SMA Harapan Bangsa, sekolah Sam.
Gadis yang berseragam SMA Harapan Bangsa itu terlihat berantakan dengan rambut kusut, tidak jauh dari gadis itu ada tas yang tergeletak tak bersalah dengan buku-buku beserta alat tulisnya yang berserakan.
Perlahan, namun pasti. Sam mendekat, bola matanya membesar, saat salah satu dari tiga gadis bergaya angkuh tadi melempar sebuah buku cetak ke arah gadis berperawakan berantakan itu.
Apa masih zaman bully-bully-an gitu? Nggak keren banget. Batin Sam miris.
Sam memantapkan langkahnya. Saat menyadari kehadiran orang lain selain mereka di halaman belakang sekolah, tiga gadis angkuh tadi mulai gelagapan.
"L-"
Sam bahkan belum sempat mengatakan sepatah katapun, ketiga gadis angkuh tadi lansung mengambil langkah seribu. Mereka berlari luntang-lanting meninggalkan halaman belakang SMA Harapan Bangsa.
"Dasar generasi micin!" Sam murka.
Sam menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir. Kini, dirinya beralih pada gadis yang berjongkok di lantai dengan kepala tertunduk itu.
"Lo nggak papa?" Tanya Sam memastikan orang yang dia ajak bicara masih sadar.
Tidak ada jawaban, Sam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "oyy, lo kok nggak jawab pertanyaan gue. Lo nggak papa?" Tanyanya lagi.
Sam akhirnya berjongkok di hadapan gadis itu, hendak melihat kondisi gadis itu lebih dekat. Namun, seruan keras gadis itu membuat Sam menarik kembali tangannya.
"Jangan mendekat!"
"Kenapa?" Tanya Sam.
"Ka-karena gu-gue lagi nangis!"
"Kalau gitu, biarin gue lihat."
Sam semakin penasaran, tangannya sudah akan mengesampingkan helain-helain rambut yang menutupi sebagian wajah gadis asing itu.
Namun, "Eh! Nggak boleh!" Gadis itu menahan tubuh Sam yang bersikeras ingin melihatnya.
"Udah kelihatan," tukas Sam tertawa renyah.
Jodoh nggak akan kemana, gue ketemu lo lagi. Batin Sam.
"Ish!" Ketus gadis itu. Dia berdiri, lalu mengambil tasnya dan memasukkan buku-buku, beserta alat tulisnya yang berserakan itu ke dalam tas dengan cepat.
"Ehh, tunggu!" Sam mencegat tangan gadis yang di nilainya lucu tersebut.
"Apa!?"
"Jangan judes-judes ... Gue cuma mau bilang, gue udah nyelamatin lo."
"Terus?" Wajah gadis itu serius.
"Jadi, sebagai imbalan," Sam melirik name tag gadis itu.
"Kok minta imbalan? Ikhlas dong jadi orang!"
Alis Sam terangkat, "hm?"
"Your name."
"Nama gue?"
"Yap, 100 buat lo! Sekarang kasih tahu nama lo."
"Nggak boleh," tolak gadis itu.
"Why?"
"Nggak boleh pokoknya," Gadis itu buru-buru berbalik hendak pergi, tetapi lagi-lagi langkahnya tercegat.
"No-no, ayolah. Gue cuman mau tahu nama lo, itu doang."
"Enggak!"
Gadis itu lantas memberontak, ketika Sam menarikan tas ranselnya.
Nyebelin banget! Pikir Amora.
"Eit! Dapat," Sam berhasil mendapati name tag gadis itu.
"Amora," lafalnya.
Sam tersenyum, lalu melepaskan tarikannya pada pegangan tas ransel Amora.
Amora mendelik, "dasar pencuri!"
"Lah? Kok pencuri?"
"Yaiya! Gue nggak ngizinin lo ngelihat nama gue, tapi lo maksa! Itu artinya lo mencuri! Mencuri nama!"
Anjir, nih cewek gemesin banget. Batin Sam tersenyum lebar.
"Gue nggak minat nyuri nama lo, gue mau nyuri hati lo aja."
"Apaan sih! Nggak jelas!"
Amora menghentakkan kakinya kesal, lalu berlari meninggalkan Sam.
🔴🔵
See you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Hujan
Teen Fiction[ DON'T JUDGE A BOOK BY THE COVER] Percayalah bahwa hujanpun punya melodinya sendiri ♫ . TeenFiction