Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah tirai jendela berhasil membuat Bulan menyipitkan mata dan bangun dari tidurnya.
Sudah cukup lama Bulan terbangun, tetapi tubuhnya masih saja terbaring di atas kasur, sekarang ia sedang melamun.
Sampai akhirnya neneknya masuk ke dalam kamar Bulan, dan menghampiri Bulan yang masih terbaring di kasur.
"Sayang, kamu sudah bangun." Ucap nenek ketika baru masuk ke dalam kamar Bulan.
Bulan masih saja terdiam.
"Sayang, kamu demam." Ucap nenek khawatir setelah bersentuhan dengan kulit Bulan.
"Nenek ambil kompres dulu ya." Ucap nenek lagi.
Tak lama setelah itu, nenek datang lagi dengan membawa kompresan untuk meredakan demam di tubuh Bulan.
Dengan lembut nenek mengompres dahi Bulan. Bulan masih saja terdiam, sesekali melihat neneknya yang sabar dan selalu ada untuknya, seharusnya Bulan bersyukur.
"Nek..." Ucap Bulan lemah.
"Iya sayang?" Dengan lembut nenek menjawab seraya masih mengompres dahi Bulan.
"Apa semua orang di takdirkan untuk kehilangan?" Ucap Bulan seraya berbalik ke samping untuk melihat jelas nenek tersayang nya.
"Mungkin seperti itu." Balas nenek begitu lembut.
"Kenapa tuhan menciptakan harapan kepada seseorang jika akhirnya seseorang itu harus terluka hatinya?"
"Mungkin itu sebuah rencana. Akan ada pelangi setelah hujan. Apa kamu pernah mendengar kalimat itu?"
Bulan mengangguk.
"Akan ada kebahagian setelah kesedihan. Itu jawaban dari kalimat itu."
Bulan tersenyum samar. Nenek nya masih saja merawat nya dengan penuh kasih sayang.
Waktu menunjukan pukul sepuluh. Sudah hampir tiga jam nenek nya berkutat merawat Bulan di kamarnya, akhirnya nenek meninggalkan kamar Bulan, melangkah menuju dapur untuk membawakan sarapan untuk Bulan.
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada bahagia setelah kesedihan.
Dua kalimat itu masih terus terngiang di telinga dan pikiran Bulan.
Bulan berharap kebahagian itu segera datang dalam hidupnya. Ia tidak bisa terus menerus tak berdaya seperti ini. Ia harus dan akan berubah seiring jalan pikirnya terbuka.
Kebanyakan orang mempercayakan waktu sebagai penghilang semua kesedihan, padahal sebenarnya bukan waktulah kuncinya, melainkan cara berpikir kita yang harus semakin dewasa dan terbuka.
Suara di ujung pintu membangunkan Bulan dari lamunannya. Nenek datang lagi dengan semangkuk bubur dan segelas teh tawar di tangan nya.
Bulan tersenyum simpul ketika nenek nya duduk di samping kasur dan menaruh sarapan untuknya.
"Mau nenek suapi atau kamu makan sendiri?" Tanya nenek dengan suara lembut khas nya.
"Aku ingin nenek suapi." Jawab Bulan.
"Hmmm cucuk nenek masih saja manja ya." Ucap nenek seraya tertawa samar.
Tak terasa Bulan telah sampai pada suapan terakhirnya. Nenek menyodorkan teh tawar yang tadi di bawanya kepada Bulan.
"Nek..." Ucap Bulan seraya menatap nenek nya lekat-lekat. Sekarang Bulan duduk berhadapan bersama nenek nya.
"Bulan sayang sama nenek." Ucap Bulan dalam seraya memeluk neneknya. Air mata nya berhamburan. Bulan menenggelamkan wajahnya dalam pelukan neneknya.
Di sisi lain, nenek pun menangis. Lebih dari Bulan, ia begitu menyayangi cucuk satu-satunya itu. Nenek tidak tega melihat keadaan cucuk nya seperti sekarang ini. Di sela-sela pelukan dan tangisnya, nenek berharap semoga kebahagian segera datang kembali ke dalam kehidupan cucuk nya itu.
"Sayang, jangan menangis." Ucap nenek seraya mengusap pipi Bulan yang basah oleh air mata.
"Terimakasih nek, nenek selalu ada untuk Bulan." Ucap Bulan lemah, sendu.
"Sudah seharusnya sayang." Balas nenek seraya mencium puncak kepala Bulan.
Sudah tak terhitung berapa jam nenek menemani Bulan di kamar, dari mulai mengompres, menemaninya bercerita ngaler-ngidul, menonton film kesukaan Bulan, sampai akhirnya langit yang terlihat di celah-celah jendela sudah mulai gelap, udara sejuk berubah menjadi dingin, menyeruak ke dalam celah-celah baju tipis yang di kenakan Bulan.
"Terimakasih sudah menemani Bulan hari ini, nek." Ucap Bulan seraya tersenyum dan memeluk nenek.
"Nenek senang bisa menemanimu seharian, berasa anak muda lagi, menonton drama romantis." Balas nenek dengan logat suara yang di buat meledek.
Tawa mereka berdua renyah di tengah kesunyian malam itu.
Bulan teringat sesuatu. Sebuah surat yang di berikan Wilma kemarin. Katanya itu surat dari Wisnu untuknya.
Bulan melangkah ke arah meja rias miliknya, tempat dimana surat itu tersimpan di dalam tas Bulan yang diletakan disana.
Perlahan tapi pasti, Bulan membuka surat itu. Wangi suratnya sama persis seperti Wangi tubuh Wisnu. Bulan selalu merindukan Wisnu.
Bulan, sekarang aku sedang di Nusa Tenggara Barat, jauh sekali dari mu. Tak bisa ku pungkiri pula aku teramat merindukan mu. Bagaimana kamu di Jogja? Kamu harus baik-baik saja.
Sebentar lagi aku akan segera mendaki Gunung Rinjani, doakan aku supaya bisa sampai di atas pada ketinggian 3.726 mdpl. Jangan khawatir, bagaimana pun nanti akhirnya, aku akan pulang kepadamu, dengan kondisi apapun itu. Percayalah Bulan.
Bulan, cerita kita bukan sekedar cerita. Tetapi juga sebuah petualangan baru yang pernah kita lalui. Kenang segala kenangan yang harus kita kenang. Aku teramat mencintaimu Bulan.
Di Nusa Tenggara Barat, cinta ku kepadamu bertambah lagi, dan yang harus kamu ingat aku akan selalu mecintaimu bagaimana pun nanti akhirnya.
Ingat Bulan, seperti yang pernah aku ucapkan kepadamu, rencana tuhan akan selalu baik. Jangan terus bersedih , kamu lebih cantik ketika sedang tersenyum.
Wisnu, di NTB.
Merindukan Bulan yang ada di Jogja.Tak bisa di pungkiri, Bulan menangis setelah membaca surat itu.
Aku akan pulang kepadamu, dengan kondisi apapun itu. Percayalah Bulan.
Bagian dari surat itu seakan-akan pertanda bahwa Wisnu akan pergi. Rasa sakit kembali terasa di benaknya.
Sampai kapan kesakitan ini ada dalam benakku? Aku lelah Semesta, rasanya ingin menyerah saja.
Teriak Bulan dalam hatinya. Begitu menyakitkan.
Bagaimana bagian kali ini ?
Beri suara dan komentar ya.
Tunggu bagian selanjutnya.Selamat malam, kalian semua penyemangatku :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Bulan dan Bintang
PoetrySejatinya rasa sepi ialah ketika kita berada di keramaian. Tak ada seseorang yang menemani, hanya ada rasa sunyi dan sepi dihati.