1

2.1K 26 0
                                    

PAGI itu orang-orang masih terlelap dalam mimpi indahnya masing-masing. Namun sebagian dari mereka sudah terbangun dan beraktivitas seperti yang mereka lakukan di pagi hari biasanya. Ada yang baru pulang dari masjid, ada yang sedang mencuci pakaian, ada yang sedang memasak di dapur, ada yang sedang mengambil tumpukkan koran dari distributor untuk dijual di perempatan lampu merah, dan ada pula yang baru pulang dari klub. Anak-anak sudah bangun dan mandi karena mereka harus bersekolah. Para ibu menjalankan tugasnya dengan penuh semangat sebagaimana seharusnya para ibu itu lakukan di pagi hari. Mereka memasak, mencuci, atau pergi ke warung membeli keperluan untuk sarapan. Para bapak juga demikian. Mereka menjalankan tugasnya sebagai seorang suami atau seorang ayah lakukan. Entah itu pergi ke sawah, persiapan berangkat ke kantor, atau mencuci kendaraan pribadi mereka, atau bahkan malah tidur karena semalaman mereka bekerja. Suasana pagi yang penuh energi positif membangunkan kota yang terkenal dengan pelajarnya ini.

Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal dengan sebutan kota pelajar pagi itu mulai terbangun dan bersiap-siap menyambut mentari pagi seperti biasanya. Udara dingin berkali-kali merambati kulit dan menusuk ke dalam tulang mengajak orang-orang untuk kembali menarik selimutnya. Namun bagi para penduduk asli Jogja tentu udara dingin di pagi hari sudah menjadi menu sarapan rutin karena setiap pagi mereka harus bersiap-siap melakukan aktivitasnya masing-masing. Mereka yang menarik selimutnya kembali adalah para pendatang yang menetap di daerah Jogja ini. Mereka mahasiswa.

Pukul 05.30 WIB dan para mahasiswa kebanyakan masih terbuai dalam alam mimpinya berduaan dengan para bidadari yang cantik tak tergambarkan. Sedangkan masyarakat sudah mulai ramai beraktivitas dari jalan yang satu ke jalan yang lain. Bantul sudah bangun, begitupun Sleman sudah ramai.

Tapi mereka semua tak ada yang sadar bahwa ada sesuatu yang akan datang dan mengubah pagi mereka yang indah kala itu menjadi pagi paling buruk sepanjang hidup mereka. Sesuatu itu akan datang beberapa saat lagi dan orang-orang masih tak menyadarinya.

*

Hari itu, tanggal 27 Mei 2006, tepat pukul 05.55 WIB tanah bergoyang teramat kencang di bumi Yogyakarta. Gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa daerah di sepanjang garis pantai selatan turut merasakan dahsyatnya gempa tersebut. Beberapa daerah yang merasakan guncangan besar tersebut yakni Banyumas, Kebumen, Purworejo, Solo, hingga Semarang.

Betapa mengerikannya gempa tersebut, membuat semua orang akan selalu mengingatnya hingga bertahun-tahun mendatang. Gempa yang datang saat itu bukanlah seperti gempa-gempa pada umumnya yang memiliki durasi hanya beberapa detik saja. Gempa bumi saat itu bahkan hampir mencapai durasi satu menit. Lima puluh tujuh detik warga Jogja dalam suasana yang tak terbayangkan.

Pusat gempa terjadi pada jarak 25 kilometer selatan barat daya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kedalaman mencapai 11 kilometer. Pagi itu Tuhan benar-benar membangunkan mereka yang masih tidur dan yang 'masih tidur'.

**

Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas panjang. Mengendorkan syaraf-syaraf otak supaya tidak tegang. Sejenak aku berpikir: Aku berada di suasana seperti itu maka apa yang harus aku lakukan, aku sama sekali tidak tahu apakah harus lari, berteriak, berdoa, menangis? Semuanya tampak mengambang karena aku benar-benar tidak dalam posisi tersebut dan aku sama sekali tidak bisa membayangkannya. Sejurus kemudian, secangkir kopi hitam panas menjadi jawaban dari kebuntuan. Aku sruput dia dua kali. Terasa enak dan entah mengapa mengenyangkan. Baru kusadari ternyata aku belum makan nasi sejak pagi hari. Kemudian aku seruput lagi kopi panas itu. Kali ini supaya otot-otot mata tidak kendor meskipun sebenarnya mata tidak punya otot. Yang jelas malam ini aku ingin tetap terjaga hingga pagi esok. Kemudian kuraih botol aqua di sampingku dan kuminum hingga beberapa tegukan. Rasanya kerongkongan yang krempi akibat kopi teguyur oleh air dingin yang menyegarkan. Aku memiliki kebiasaan selalu meminum air mineral sehabis menyeruput kopi panas. Alasannya supaya tenggorokan tidak pliket karena pahit. Dan alasan berikutnya supaya tidak dehidrasi. Bagaimanapun air juga penting. Lalu aku mulai mengetik lagi.

**

Alarm mobil bersahut-sahutan satu dengan yang lain. Bukan karena ada orang iseng yang menendang-nendangnya, melainkan tanah berpijaknya mobil-mobil tersebut bergoyang-goyang amat kencangnya. Burung-burung beterbangan karena tak ada satu pun tempat yang tenang untuk dihinggapi, semuanya bergoyang. Pohon-pohon bergoyang. Rumah-rumah bergoyang. Gedung-gedung bergoyang. Bahkan jalan aspal pun ikut bergoyang-goyang. Kabel-kabel listrik yang tersambung dari tiang ke tiang, menari-nari seperti permainan tali yang dimainkan anak-anak perempuan. Orang-orang berhamburan keluar rumah. Menghambur seperti lebah yang sarangnya diusik oleh orang untuk diambil madunya. Mereka berteriak, bingung, berdoa, menangis, dan histeris.

Beruntung bagi mereka yang sempat menyelamatkan diri keluar rumah sebelum rumah mereka ambruk. Nasib mereka terbilang masih bagus, karena tidak sedikit yang belum sempat keluar rumah, dan kemudian tertimpa atap atau kerobohan tembok rumah mereka sendiri. Lebih dari 70% rumah dan bangunan di daerah Bantul retak, roboh, dan bahkan rata dengan tanah.

Teriakan-teriakan bersahut-sahutan dimana-mana. Bantul yang telah bangun dan beraktivitas seperti biasa berubah menjadi Bantul yang kejang-kejang penuh tangisan sana-sini. Sedangkan Sleman yang sudah mulai ramai dengan orang-orang bekerja di pagi hari berubah menjadi Sleman yang terbakar penuh teriakan, orang-orang berlarian. Sedangkan Jogja kota yang kembali menarik slimutnya, pagi itu berubah menjadi Jogja kota yang diguyur dengan seember penuh air mata, dipaksa untuk bangun dan menangis.

Novel Gunung: MERAPI #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang