TUNTUTAN yang diajukan dalam rencana demo kali ini adalah penyesuaian Uang Kuliah Tunggal (UKT) supaya lebih berkeadilan terhadap seluruh mahasiswa.
UKT adalah sebuah kebijakan pemerintah dalam melakukan pemerataan biaya kuliah. Biaya kuliah sendiri secara umum terbagi menjadi biaya masuk –biaya yang dikeluarkan oleh calon mahasiswa– dan biaya semester. Sebelumnya biaya masuk kuliah terbilang cukup besar ketimbang biaya semester. Alasan itulah yang kemudian membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan UKT. Yakni dengan menyama-ratakan menjadi satu biaya tunggal. Sehingga biaya masuk kuliah bisa ditekan. UKT kemudian disebut juga biaya semester.
Namun masalah yang kemudian muncul adalah membengkaknya biaya semester imbas dari pemerataan biaya masuk kuliah.
Progam pemerintah ini awalnya ditentang oleh berbagai pihak, baik mahasiswa maupun universitas. Namun akhirnya kebijakan pun telah diketok palu. Alasan yang diberikan memang masuk akal: pemerataan. Namun alasan tersebut bukanlah sesuatu yang dibutuhkan oleh pendidikan di Indonesia saat ini. Ibarat kapal yang berada di atas gelombang arus laut, posisinya kala itu memang sedang pelan namun stabil. Lantas apa jadinya jika tiba-tiba arus diubah menjadi gelombang besar? memang pergerakan menjadi cepat, namun kestabilan kapal juga akan berkurang. Bahkan bisa-bisa kapal malah terbalik. Dan hal tersebut yang kemudian bisa terjadi.Para calon mahasiswa baru, merasa kesusahan karena progam yang berbelit. Bahkan banyak kalangan mahasiswa merasa terberatkan oleh biaya semester yang membengkak. Selain itu biaya operasional yang tinggi juga dirasakan oleh mahasiswa profesi dan magang.
Berbagai subsidi yang diberikan pemerintah sebelumnya menjadi tidak terasa karena telah melalui serangkaian hitung-hitungan matematika yang rumit demi menstabilkan kebijakan pemerintah yang baru itu. Mahasiswa dengan perekonomian rendah, menengah, dan di atas rata-rata justru berada di titik yang sama: kesusahan.
*Kebijakan UKT yang diberikan pemerintah telah disahkan. Pembagian besar kecil dana UKT kemudian diserahkan kepada masing-masing universitas. Dari sini masalah selanjutnya muncul. Kami para mahasiswa menganggap penerapan kebijakan UKT yang dilakukan oleh pihak kampus adalah tidak adil.
Banyak suara-suara memelas yang keluar dari para mahasiswa baru. Suara-suara itu kemudian ditampung dalam organisasi daerah, kemudian tersalurkan ke pusat.
Ada mahasiswa yang harus membayar UKT yang cukup besar karena pertimbangannya adalah tingkat golongan orang tuanya. Sedangkan predikat golongan sama sekali berlainan dengan kenyataan di hidupnya. Ayahnya telah tiada. Sedangkan ibunya hanya pedagang kecil. Kakaknya juga masih berkuliah. Sedangkan ia dituntut membayar UKT yang besar selama bertahun-tahun nanti berkuliah. Melihat kenyataan ini tentu kita mendapati ketidakadilan di dalamnya.
Suara memelas seperti itu bukan hanya satu. Melainkan banyak. Dimanakah keadilan yang sesungguhnya? Apakah yang dinamakan keadilah hanya termaktub sebatas judul berita penuh pencitraan yang menuliskan keberhasilan pemerintah? Atau keadilan itu benar-benar kesejahteraan yang justru tidak ada di judul artikel manapun melainkan dirasakan secara langsung oleh masyarakat? Sebagai mahasiswa tentu aku memilih poin kedua sebagai pernyataan tentang makna keadilan sejati yang sebenarnya.
Semua kebijakan yang bernada demi keadilan itu nyatanya hanya sebatas bedak jerawat, ia hanya menutupi supaya muka terlihat cantik, jerawat-jerawatnya masih juga terus hidup dan menggerogoti.
Lagi-lagi dan ujung-ujungnya semua adalah soal politik. Ya, politik di hulu sana.
*Rapat kembali dimulai. Kali ini turut hadir di dalam ruangan beberapa elit mahasiswa. Tampak di sana beberapa mantan anggota BEM terdahulu. Mas Bardiman dan Mas Bramantyo juga ada di dalam ruangan. Aku cukup tahu mereka berdua. Mas Bardiman aku kenal sebagai orang media. Ia aktif menulis untuk berbagai macam media. Tulisan-tulisannya adalah seputar opini dan politik. Ia sangat menyukai hal-hal berbau politik. Hal ini wajar saja karena memang ia anak Fisipol. Sedangkan Mas Bramantyo aku mengenalnya sebagai ahli komputer. Jari-jarinya seperti sapu ijuk saat digunakan untuk menyapu, lentur dan cekatan. Jari-jari Bang Bramantyo lentur dan cekatan jika sudah berhapan dengan keyboard komputer.
Antara Mas Bardiman dan Bramantyo sama-sama satu angkatan dulunya. Mereka berdua juga sama-sama menjadi penduduk bawah di kosan 639. Aku sering mampir ke kamar mereka berdua. Dalam pengamatanku, mereka berdua belum kunjung mendapat pekerjaan karena sedang menggeluti sesuatu. Sesuatu yang mereka kerjakan bersama. Jika Mas Bardiman pandai mencari informasi, dan Mas Bramantyo pandai komputer, spekulasiku tertuju pada media informasi semacam website online. Mungkin sekali jika mereka bekerja sama membuat website online.
Apalagi keberadaan mereka dalam rapat. Aku semakin yakin dengan spekulasiku.Dalam ruangan masih tampak wajah-wajah aktor utama di rapat sebelumnya. Anis masih duduk dengan segala wibawanya. Begitupun juniorku Juvita, ia juga duduk dengan tatapan penuh antusias. Bara masih dalam kelompoknya terlihat menyusun sesuatu, mungkin berkas-berkas hukum atau semacamnya. Aku sering mengamati anak-anak hukum selalu berkutat dengan kertas-kertas yang menumpuk tebal. Gondrong tak terlihat. Barang kali ia masih di luar. Mas Bardiman terlihat mencatat sesuatu sedangkan Mas Bramantyo tengah merekam dengan kamera video.
Semua elemen yang ada dalam ruangan rapat telah menyatu dan berada dalam atmosfir yang sama. Semuanya duduk sama rendah berdiri sama tinggi dan mengeluarkan satu suara yakni meminta sebuah keadilan.
Para elit yang sebelumnya ku sebutkan, mereka adalah Azizah Adrimah, Alex Wardhani, Al Fatih, Jessica Hasan, dan ada beberapa lagi yang tak kuketahui namanya. Empat nama itu adalah mahasiswa pascasarjana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Gunung: MERAPI #1
Romancenovel fiksi/sejarah/romansa/petualangan Hari itu, tanggal 27 Mei 2006, tepat pukul 05.55 WIB tanah bergoyang teramat kencang di bumi Yogyakarta. Gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa daerah di sepa...