59

51 1 0
                                    

Terlalu lama tenggelam mengamati rumah-rumah warga, kopi susu panas rupanya sudah tiba. Ahh, enak sekali hanya melihatnya saja. Uap panasnya beterbangan ke atas.  Bibirku sudah tak sabar untuk segera menyeruputnya.

“Srrupppttt...” panas memang. Tapi kalah dengan dinginnya basecamp sore ini. Tetap saja aku sruput berkali-kali.

Teman-teman yang lain tampak juga menyeruput kopinya masing-masing.

“Dingin seperti ini memang paling enak minum kopi susu panas” gumam Londo. Ia memang pecinta kopi. Bukan kopi hitam, tapi kopi susu. Aku sering melihatnya malam-malam begadang ditemani kopi susu panas. Kuliahnya yang Kedokteran memang banyak menyita waktu akan tugas. Londo sering sekali disibukkan dengan tugas pertanggungjawaban praktikum, atau anak-anak kedokteran biasa menyebutnya responsi.

“Andai tak ada kabut. Jam-jam seperti ini harusnya sudah ada sunset. Pasti tambah nikmat lagi kopi susunya.” Bara ikut menambahi.

“Apalagi ada wanita seksi, Mas. Pasti tambah nikmat lagi kopi susunya.” Dony tiba-tiba ikut campur. Kami tertawa. “Ha ha ha . . . “

Anak yang satu ini hampir mirip dengan Bara. Ada bakat untuk menjadi playboy. Tapi aku pikir tidak juga. Bara playboy karena memang bawaan. Tapi kalau Dony mungkin bukan playboy, lebih mengarah kepada mesum. Betul sekali. Ia lebih ke arah mesum. Artinya lebih kepada kecenderungan pikiran bukan perbuatan. Bara yang bergonta-ganti pasangan, termasuk dalam perbuatan. Sedangkan Dony pacar saja tak punya. Tapi pikirannya selalu mengarah kepada lawan jenis. Ini namanya kemesuman. Intip mengintip beberapa waktu yang lalu ternyata memang benar ulah si Dony. Bara yang cerita kepadaku. Dalam hati aku memakinya “Dasar anak mesum”.

Masih dalam suasana yang dingin namun semuanya cair. Cair karena kebersamaan kami bersebelas. Mas Bardiman dan Mas Bramantyo sudah kembali bergabung bersama kami. Setelah menyeruput kopi susu panasnya, Mas Bardiman mulai berceramah:

“Saat di basecamp ini jarang terlihat sunset. Kalaupun tak ada kabut seperti ini, sama saja sunsetnya juga tak bakalan terlihat.”

“Kenapa memangnya, Mas?”

“Itu karena posisi basecamp ada di balik gunung. Posisinya di timur gunung. Sedangkan dimana-mana yang namanya sunset atau matahari tenggelam pasti berada di barat. Iya kan?”

“Jadi sunsetnya terhalang gunung, Mas?”

“Betul.”

Sambil menikmati kopi susu yang perlahan panasnya mengurang akibat suhu dingin dari luar, kami hikmat mendengarkan Mas Bardiman bercerita.

“Tapi tenang. Saat di basecamp seperti ini, memang kita belum bisa dapat apa-apa. Belum ada yang bisa kita nikmati. Kan sudah pernah kukatakan. Pendakian gunung adalah proses. Kenikmatannya ada di ujung pendakian.”

“Jadi ada sunset di atas sana Mas?” tanya Ibnu mulai bersuara.

“Betul, Nu. Bukan hanya sunset, tapi sunrise.” jawab Mas Bardiman.

“Apalagi kalau ada wanita seksi. Pasti sunrisenya le...”  ,”Hush ...!” Dony kembali dengan kemesumannya tapi buru-buru dipotong oleh Mas Bardiman.

“Tidak boleh bercanda seperti itu, Don.” Nada Mas Bardiman kali ini serius. Ia menyeruput kopinya lalu menaruhnya kembali. Sedangkan Dony diam. Teman-teman sesama junior yang lain menyikut-nyikutnya. Memarahi Dony dengan sikutan.
Sejurus kemudian Mas Bardiman melanjutkan.

“Pokoknya selama kita akan mendaki gunung atau saat dalam perjalanan mendaki nanti, kita tidak boleh bercanda yang bersifat negatif. Contohnya seperti ngomongin keburukan orang lain, mendorong-dorong teman, melamun, dan juga candaan soal wanita seksi atau semacamnya seperti tadi. Semuanya tidak boleh.”

Kemudian Mas Bramantyo menambahkan  wejangan dari sebayanya itu:

“Betul kata Mas Bardiman. Kami berdua bukannya mau menakut-nakuti kalian semua. Tapi kami berdua sudah berpengalaman. Jadi apa yang kami katakan dan juga anjurkan semuanya berlandaskan dari pengalaman kami.”

“Semua yang dikatakan Mas Bardiman bisa dijelaskan secara ilmiah dan juga secara penalaran luar.”

“Jadi begini. Kita ambil contoh seperti candaan Dony tadi seputar wanita seksi. Dony mungkin hanya bercanda. Ia berkata: ‘Andai saja ada wanita seksi’. Di suasana Gunung Merapi yang sepi. Dan sekarang apalagi mulai gelap. Satu yang bisa disimpulkan yakni ‘mana mungkin ada wanita seksi’. Kedua, yakni secara tidak sadar perkataan wanita seksi tadi terpatri di dalam otak Dony yang mengucapkan atau kita yang mendengarkan. Lalu saat kita mendaki, berkeringat, dan capai, kemudian diterpa dingin, lalu kita duduk sambil diam. Nah, saat-saat itulah kondisi otak yang sedang tidak stabil. Artinya sangat mungkin bayangan di otak seputar wanita seksi kemudian menjadi muncul dalam sebuah fatamorgana. Jadi, ia bisa menjadi sebuah penampakkan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Begitu.”

Mendengarnya kami cukup merinding. Meskipun yang dijelaskan oleh Mas Bramantyo adalah ilmiah.

“Betul Mas Bram. Aku juga berpikir demikian. Di Kedokteran yang seperti itu dinamakan halusinasi visual.” Londo sebagai anak Kedokteran Umum mulai menambahi.

“Kasusnya hampir sama dengan mimpi saat kita tidur. Misal kita sedang menonton film atau membaca buku, lalu setelah itu jatuh tertidur. Kemudian kita bermimpi dalam tidur kita tentang film yang sedang kita tonton sebelum tidur, atau buku yang sedang kita baca sebelumnya. Pasti kita pernah mengalami demikian. Lantas kenapa bisa terjadi? Itu karena otak kita sedang memproses apa yang sedang masuk. Yakni film atau buku tadi. Kemudian kondisi tubuh kita kecapaian sampai-sampai kita tertidur. Dan dampaknya tidur kita kurang sempurna sehingga potongan-potongan apa yang barusan kita lihat di film atau kita baca di buku kemudian muncul di dalam otak. Dan terjadilah yang namanya mimpi tadi.”

Londo menjelaskan dengan cukup jelas. Penjelasannya kami tampung dan kami resapi baik-baik.

“Lalu penjelasan secara penalaran luar yang disebutkan tadi bagaimana, Mas?” aku mencoba menanyakan yang barangkali kelupaan oleh Mas Bramantyo.

“Jadi begini... ” Mas Bram memulai. Kami hikmat. Diam. Kopi susu yang tak lagi panas kini menganggur. Semua mendengarkan Mas Bramantyo.

“Sebagai umat beragama kita kan percaya kalau di dunia ini kita tidak sendirian...” Mas Bramantyo mengucapkan kata sendirian sembari mengangkat dua jari sebagai penyebutan untuk tanda kutip.

“Artinya ada sosok lain yang juga hidup berdampingan dengan kita. Sebut saja sosok astral. Tak kasat mata.”

“Mungkin selama ini kita menjalani kehidupan, di rumah, di kampus, di jalanan, dan dimana-mana. Tapi kita tak sadar kalau meraka para sosok astral juga hidup di sekitar kita. Mereka juga hidup di rumah-rumah kita, di kampus kita, dan juga jalanan.”

“Dan percaya atau tidak, di tempat yang kita anggap sepi justru di sana mereka para sosok astral tinggal. Di pohon beringin, di pojokkan gedung, di lubang-lubang tanah, dan sebagainya. Termasuk di gunung dan hutan.”

Aku memotong.
“Termasuk Gunung Merapi?”
“Betul, Ma..”

Novel Gunung: MERAPI #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang