Kopi susu setidaknya mengisi lambung kami dan memberi kehangatan di dalam sana. Kehangatan itu kemudian menyebar ke bagian-bagian dalam tubuh lain. Dan akhirnya merangsang ke otak. Sehingga otak merasa hangat dan memerintahkan seluruh tubuh untuk tenang dan jangan merasa dingin.
Ketiga anak di tendaku sehabis menyruput minuman mereka, mereka langsung tidur. Mereka masuk ke dalam sleeping bag dan menutup rapat resletingnya. Sedangkan Dony tampaknya sudah masuk ke alam mimpi.
Mas Bardiman dan Mas Bramantyo juga terlihat masih menyimpan rokoknya dalam-dalam. Masih belum saatnya mereka untuk mengakhiri puasa merokoknya. Namun sebagai pelampiasan, mereka menggantinya dengan kopi susu panasnya masing-masing.
Lindung yang tadi merasa kram kini sudah bisa duduk. Ia kembali memakan snack-snack penambah energinya. Sedangkan Londo juga demikian. Ia sesekali meminta snack dari Lindung. Dan tak lupa di tangannya ada kopi susu favoritnya.
Ammar sudah tidur pulas. Bara juga rupanya mulai mengantuk. Wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya.
Sejurus kemudian ia pun ikut tidur di samping Ammar.
*“Tidur, Ma”
“Iya Mas, ini mau tidur”
Hanya tinggal Mas Bramantyo dan Aku yang masih bertahan. Lainnya telah masuk ke dalam sleeping bagnya dan tertutup rapat hanya menyisakan bagian muka.
Lampu tenda masih menyala di lorong.
“Ayo, Ma tidur. Kamu masuk duluan biar aku yang matikan lampunya” Mas Bramantyo ingin segera mengakhiri beban tanggung jawabnya malam ini.
Dan aku mengiyakan.
Aku masuk ke dalam sleeping bagku.
Lampu di lorong kemudian mati.
Semuanya telah tertidur. Aku belum.
*Kulihat jam sudah pukul 2 lebih.
Dan aku kembali teringat kisah yang diceritakan Mas Bramantyo sebelumnya. Tentang temannya yang menjadi aneh, dan juga tentang keramaian di Pasar Bubrah.
Mengingat hal itu bulu kudukku lagi-lagi berdiri. Aku merinding.
Untung saja aku berada di tenda dan banyak orang di dalam sini. Jadi tak perlu takut.
Rasa takut harus aku buang sejauh-jauhnya. Bukankah aku mendaki Gunung Merapi ini demi memuluskan usahaku untuk melupakan masa laluku? jadi tidak ada alasan untukku takut terhadap sesuatu lain. Aku hanya takut kepada diriku sendiri yang tak mampu mengikhlaskan dan merelakan. Itu yang aku takutkan.
*Kelopak mataku semakin berat. Aku sudah menutupnya rapat-rapat tapi masih saja tak bisa tidur. Dingin yang masih juga mampu menembus lapisan sleeping bag dan jaket gunungku terus saja memaksa supaya aku tidak tidur.
Benar-benar sial. Pikiranku selalu berputar-putar mencari cara supaya bisa tidur. Tapi tetap saja buntu. Belum lagi pikiran-pikiran negatif selalu saja muncul. Aku mulai mengingat lamunanku sebelumnya tentang wanita yang tak kukenal. Kisah Mas Bramantyo juga kembali kuingat. Dan lagi-lagi efeknya kepada bulu kudukku. Benar-benar sial.
Aku terus mencoba untuk tidur. Anak-anak junior di dalam tenda sudah pula terlelap. Terutama Dony yang sudah sejak awal tertidur. Ia mendengkur cukup keras. Menambah kesengsaraanku yang tak bisa tidur ini.
Masih dalam usahaku untuk terlelap. Tiba-tiba aku mendengar sesuatu. Aku langsung pasang telinga.
“Seperti ada suara langkah kaki. Beberapa langkah kaki” gumamku dalam hati. Aku lebih memasang telinga.
“Sepertinya dalam jumlah banyak. Bergerombol. Ada suara-suara percakapan namun tak begitu jelas.” aku masih berbicara dalam hati.
“Ramai sekali seperti di pasar saja” aku sedikit protes masih dalam hati.
Sejurus kemudian “Deg....degg degggg!” jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Bulu kudukku berdiri lagi, kali ini lebih hebat.
Barusan aku mengatakan suara-suara itu seperti suara keramaian di pasar. Padahal angin sedang bertiup sangat kencang. Kabut juga tebal dan dinginnya sampai menembus ke dalam tenda. Jadi mana mungkin ada banyak orang di luar sana yang mengobrol dengan santainya.
Memikirkan seperti itu aku langsung mendekat ke anak-anak yang lain yang sudah tidur pulas. Sleeping bagku kututup rapat. Resleting kututup penuh. Aku tak ingin berpikiran aneh-aneh. Biarlah mereka para makhluk lain dengan dunia mereka. Aku dengan duniaku sendiri. Dunia manusia. Aku hormati kehidupan mereka di sana. Maka tentu mereka harus menghormatiku di sini. Aku hanya ingin tidur dan melepaskan semua beban fisikku semalaman ini. Dan juga... melepaskan sejenak kenangan masa laluku. Yang pahit. Kalian ... makhluk astral, biarkan aku tidur.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Gunung: MERAPI #1
Romancenovel fiksi/sejarah/romansa/petualangan Hari itu, tanggal 27 Mei 2006, tepat pukul 05.55 WIB tanah bergoyang teramat kencang di bumi Yogyakarta. Gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa daerah di sepa...