Mendengar penjelasan Mas Bramantyo yang belum selesai, bulu kuduku berdiri. Soal Gunung Merapi aku tidak nol bulat. Aku cukup banyak membaca informasi tentangnya. Gara-gara tulisanku yang kukirim ke Fakultas Ilmu Budaya aku jadi banyak membaca soal Merapi. Bahkan mencari-cari bahan yang tak berhubungan dengannya. Yakni seputar mitos dan mistisnya.
Berdasarkan yang kubaca, Gunung Merapi merupakan istananya para makhluk astral. Oleh sebab itu para abdi dalem kraton rutin melakukan acara memberikan persembahan kepada penghuni Merapi. Mereka berdalih tidak melakukan praktik sesat atau semacamnya, tapi itu adalah budaya yang telah dikerjakan sejak lama sebagai bagian dari kelestarian hidup masyarakat Jogja. Mereka juga mengatakan bahwa kegiatan seperti itu melambangkan bahwa masyarakat Jogja menyadari bahwa mereka hidup di tanah yang mereka tempati tidaklah sendirian. Jadi singkatnya mereka bersilaturahmi dengan para penghuni Merapi yang astral itu.
Sedangkan kami? Kami bersebelas datang dari Jogja menuju Merapi mau tidak mau juga harus bersilaturahmi dengan para penghuni Merapi yang astral itu. Kami semua tak tahu sama sekali tentang seperti apa Merapi bagi makhluk-makhluk astral tersebut. Jika Merapi sebagai istana untuk mereka para makhluk astral, maka kami semua buta arah. Tak tahu tempat. Tak tahu mana tempat tidur mereka. Tak tahu mana taman mereka. Mana tempat penyimpanan barang berharga mereka. Bahkan kami juga tak tahu mana tempat duduk pimpinan istananya. Salah-salah saat kami sedang buang air kecil, malahan di situ tempat pimpinan istananya. Dan itu tidak lucu.
Memikirkan semua itu maka aku sangat setuju dengan perkataan Mas Bardiman sebelumnya. Bahwa kita tidak boleh bercanda. Kita harus tetap berpikiran positif. Kita harus seakan-akan sedang masuk ke dalam rumah orang. Harus sopan dan santun. Tidak boleh berlaku seenaknya.
Mas Bramantyo melanjutkan penjelasannya lagi sama seperti yang aku pikirkan barusan.
“Kita harus sopan dan santun saat mendaki nanti.” tutup Mas Bramantyo.
*Malam telah tiba. Semuanya menjadi gelap pekat. Kabut yang tebal abu-abu sore tadi tak tampak sama sekali. Tapi keberadaannya aku yakin masih ada.
Aku putuskan pergi ke mushola yang berada tidak jauh dari basecamp untuk sholat maghrib sekaligus menunggu isya.
Wilayah Selo dimana kami berada saat ini memang terpencil, namun untuk ukuran wilayah lereng gunung bisa dibilang sangat padat. Masih banyak rumah-rumah yang berkerumun. Padahal titik kami berada sudah cukup tinggi.
Meskipun terpencil. Dan suhu dingin yang menusuk-nusuk. Namun tempat ibadah seperti mushola ini tetap juga ramai dikunjungi warga. Air wudhu yang terasa seperti air es tidak mengurungkan niat orang-orang untuk bersembahyang menghadap Sang Khalik.
Imam mushola yang memimpin sholat tampak tidak terlalu tua tapi lantunan ayat-ayat dalam sholatnya terdengar seperti suara orang yang sudah sepuh. Aku maklumi hal itu mengingat orang Jawa khususnya masyarakat pedalaman memang memiliki aksen seperti itu.
“Assalauallaikum warrahmatullah.... “
“... Assalauallaikum warrahmatullah. “
*Selesai dengan urusan sholatku. Aku kembali ke basecamp. Tampak di depan basecamp para pendaki-pendaki lain yang jumlahnya lebih dari sepuluh. Bahkan jika dilihat dari banyaknya kendaraan yang terparkir di luar maupun di dalam basecamp, jumlahnya bisa mencapai 50 orang lebih.
Aku tebak beberapa pendaki yang lainnya mungkin sudah melakukan pendakian sejak siang tadi.
Mas Bardiman memanggilku untuk mengisi daftar absen pendaki.
“Tulis, Ma.” perintahnya padaku. Tugasku yang sekretaris rupanya masih melekat sampai sekarang.
“Oke, Mas.”
Pada kolom “Nama” aku tuliskan:Bardiman
Bramantyo
Gajahmada
Lindung
Londo
Bara
Ammar
Rocky
Ibnu
Dony
TatanPada kolom “Asal” aku tuliskan sama semuanya:
Kos 639 YOGYAKARTA.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Gunung: MERAPI #1
Romancenovel fiksi/sejarah/romansa/petualangan Hari itu, tanggal 27 Mei 2006, tepat pukul 05.55 WIB tanah bergoyang teramat kencang di bumi Yogyakarta. Gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa daerah di sepa...