31

56 2 0
                                    

Azizah memang menyembunyikan wajahnya, namun intuisiku menangkap kecantikannya. Kulihat saat ia berdiri, tubuhnya cukup semampai. Beberapa bagian yang terlihat hanya kedua mata, alis, dan kedua telapak tangan saja. Bentuk tubuhnya belum bisa kugambarkan karena pakaian niqabnya.
Dua bola matanya mirip milik Sarasvati, sama-sama bulat, perbedaannya terletak dari warna hitam di matanya. Milik Sarasvati berwarna hitam khas Jawa, sedangkan milik Azizah lebih ketimur tengahan.

Alisnya juga terlihat hitam tebal. Kombinasi alis dan bola mata sudah mendapat penilaian bagus. Jika harus kunilai maka ia mendapat nilai A.
Telapak tangannya juga terlihat. Kulitnya putih bersih. Selebihnya aku tidak tahu.

Menurut pendapatku sendiri, semakin wujud asli seseorang tertutup maka semakin pula pandangan orang tertuju hanya pada satu titik yang terbuka. Saat Azizah berdiri, pandangan semua orang tertuju pada kedua bola matanya saja. Dari matanya tersebut menegaskan dan menggambarkan keseluruhan dari tubuhnya. Ia cantik.
Barulah setelah Azizah berbicara dan memperkenalkan diri. Aku mulai yakin bahwa sosoknya memang cantik. Suaranya saja merdu.
Bulan Ramadhan ketika itu kami intens bertemu. Dan itu rutin tiap sore hari.  Sosoknya yang senior benar-benar mengayomi para juniornya. Termasuk aku. Beberapa kali Azizah juga banyak memberikan masukan kepadaku. Misalnya waktu itu ia memintaku untuk meringkas inti-inti kajian sore sehingga di ujung Ramadhan terkumpul banyak bahan dan cukup untuk dijadikan sebuah buku. Pemahamannya tentang buku cukup baik.

“Ma.. kamu tahu apa bedanya buku di zaman dulu dengan buku di zaman sekarang?” Tanyanya pada suatu sore sambil kami duduk agak berjauhan.

“Aku pikir sama. Mungkin yang membedakan si pembacanya sendiri.” jawabku kemudian. Kulihat wajahnya yang tertutup itu, matanya sedang menerawang entah kemana. Seakan-akan pandangannya bisa menembus langit sore yang menjingga di atas sana.

“Memang benar juga seperti itu. Kalau menurutku sendiri, zaman dulu selain untuk dibaca, buku juga dijadikan alat untuk mengungkapkan perasaan kepada seseorang. Sedangkan zaman sekarang buku hanya untuk dibaca. Pesan dalam buku memang ada, namun ditujukan untuk semua pembacanya. Dan itu berarti banyak orang.”

Ia menambahkan,
“Langit di atas juga sama indahnya dengan langit kemarin sore. Namun kita tidak tahu langit sore esok hari apakah masih indah seperti sekarang atau tidak. Atau jangan-jangan esok hari sudah tidak kita jumpai langit itu. Maka pentingnya waktu itu kita manfaatkan untuk menulis dan membaca buku, Ma. Bukankah Nabi Muhammad diperintahkan oleh Malaikat Jibril untuk membaca?”
Sosok di sampingku ini tampaknya memiliki pengalaman hidup yang panjang. Entah seberapa pahit pengalaman hidupnya, nada-nada dalam bicaranya penuh makna. Seakan-akan menyuruhku untuk “Jangan sepertiku”. Namun dari setiap kata yang diucapkannya selalu membawa sinar-sinar dakwah yang kental. Di dalamnya selalu terpancar ilmu.

Aku memang tidak melihat wajahnya seperti apa. Namun perilakunya selama ini cukup bagiku untuk menyimpulkan bahwa seniorku ini adalah wanita yang baik dan juga cantik. Ia mendapat pengakuanku. Namun tentu itu tidak bisa menempati ruang dalam hatiku karena dalam hatiku ini sudah terisi oleh seorang bernama Sarasvati.
Ramadhan waktu itu telah berakhir. Kegiatan-kegiatan pun usai. Para panitia telah berpisah. Namun beberapa tetap menempati posisi yang sama namun dalam suasana yang berbeda. Aku sendiri memutuskan untuk kembali fokus kepada studiku. Sehingga kegiatan di Maskam aku tinggalkan.

Hingga pada suatu ketika, belum lewat bulan Syawal, seorang temanku dari Maskam dulu mendatangiku. Ia memberikan sesuatu kepadaku:
“Ma... aku dititipikan ini oleh Mbak Azizah. Katanya untuk kamu.”
Kulihat sesuatu itu terbungkus dalam balutan cokelat. Lalu kubuka.

“Buku... novel”

Sepintas kubaca judul novel itu.

“ ... Aku Seorang Muslim”

Cover novel itu bergambar seorang laki-laki. Sejurus kemudian aku berpikir. Benar juga kata seniorku itu, buku juga sebagai media menyampaikan pesan. Itu artinya ia memintaku untuk menjadi seorang Muslim yang baik sesuai dengan pesan novel tersebut. Aku bersyukur, di dunia ini masih juga ada orang seperti seniorku itu: an old school romantic.
*

Novel Gunung: MERAPI #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang