“Ayo cepat ... cepat!”
“Ayo masuk ke tenda semuanya ... “
Beberapa teman kami kemudian masuk ke dalam tenda. Angin masih juga bertiup kencang.Ku lihat sekilas jam di tangan sudah menunjuk pukul 01.30 pagi. Kabut kembali menebal.
Akhirnya kami semua masuk ke dalam tenda. Cukup sesak jika diisi oleh enam dan lima orang di masing-masing tenda. Untungnya Mas Bramantyo sudah memasang flysheet atau semacam terpal yang menghubungkan tenda satu dengan tenda dua. Jadi antara tenda satu dan dua terhubung dan menjadi semacam lorong. Dan tentunya kami lebih mudah untuk berkomunikasi satu sama lain.
Lampu tenda kemudian diletakkan di tengah-tengah lorong tersebut. Cahayanya yang terang membuat seluruh muka menjadi terlihat. Aku melihat di tenda sebelah, wajah-wajah yang kelelahan. Sama halnya dengan wajah-wajah di dalam tendaku.
Angin masih juga bertiup dengan kencang. Bahkan tenda juga ikut bergoyang. Untung saja ada batu sebesar gajah yang berdiri di samping tenda kami. Namun di sisi lainnya tidak ada penghalang sama sekali. Jadi kadang angin yang berhembus akan terasa kencang sekali, kadang pula anginnya menjadi pelan karena terhalang oleh batu tersebut.
Kami berempat yang sudah dulu sampai di Pasar Bubrah tampak lebih prima ketimbang rombongan yang baru saja datang ini. Tatan, Rocky, dan juga Mas Bramantyo duduk dengan tenang. Sedangkan di tenda satunya beberapa anak terlihat langsung terkulai, sepertinya masih kelelahan.
“Brrrr.... dingin sekali, Mas” Dony kedinginan.
“Langsung masuk ke sleeping bag Don.” perintah Mas Bramantyo.
Dony ada di dalam tendaku. Ia tampak kedinginan sekali. Nampaknya pilihan untuk ikut bertahan di lokasi sebelumnya adalah salah. Ia justru semakin kedinginan. Untung saja sekarang sudah di dalam tenda.
“Bawa kaos tangan nggak, Don?” tanya Mas Bramantyo.
“Tak, Mas”
“Pakai punyaku saja, Don” aku menawari kaos tanganku yang masih kusimpan rapi di dalam tas. Kuambilkan dan kuberikan kepada Dony.
Kaos tangan menurut penjelasan Mas Bardiman kemarin adalah salah satu benda yang penting. Penting sekali ketika sangat dibutuhkan. Yakni saat-saat kedinginan parah. Londo ketika itu juga mengatakan bahwa salah satu bagian tubuh yang rentan merasakan dingin salah satunya adalah telapak tangan. Oleh sebab itulah telapak tangan kita akan menjadi keriput saat kelamaan di dalam air dan kedinginan. Maka mempersiapkan kaos tangan seperti ini adalah penting.
Dony lalu masuk ke dalam sleeping bagnya setelah memakai kaos tangan tebalku. Ia butuh istirahat sejenak untuk mengembalikan suhu tubuhnya.
“Bagaimana di sebelah? Aman?” aku cukup khawatir kepada tenda sebelah.
“Mas Lindung kakinya Kram, Mas” jawab Ibnu. Ibnu ada di tenda sebelah. Sedangkan tiga temannya Tatan, Rocky, dan Dony ada di tendaku.
“Kamu ke sini saja Nu. Pindah ke sini” tiba-tiba Mas Bramantyo menyuruh Ibnu untuk pindah tenda. Sepertinya ia menangkap wajah Ibnu yang kurang nyaman jika harus berpisah dengan teman-teman sebayanya. Aku pun lantas mengiyakan.
“Iya Nu, kamu pindah sini saja. Mas Bramantyo biar ke situ.”
Dan Ibnu akhirnya pindah tenda. Tasnya ikut dibawa.
“Lainnya aman?” Mas Bramantyo masuk ke tenda sebelah sambil menanyai keadaan teman-teman yang lain.
“Aman semua, Bram. Cuma Lindung kram. Kecapaian.” jawab Mas Bardiman.
“Ammar juga sepertinya kedinginan, jadi kusuruh ia tidur duluan di sleeping bag” tambah Mas Bardiman.
“Londo dan Bara gimana kalian?” tanya Mas Bramantyo.
“Aman, Mas.” jawab keduanya hampir bersamaan.
Aku yang di tenda sebelah melihat Bara yang tampak bugar. Sepertinya fisiknya sudah kembali.
“Aman, Bar?” teriakku
“Aman, Ma.. terkendali”
“Syukurlah... malu sama perut sixpack mu kalau tidak kuat, Bar.” ejekku memecah suasana.
Kami pun terkekeh.
*Semuanya telah melepas lelah. Aku kini ikut merasa kecapaian yang sangat. Dingin mulai menyerang karena kami sudah lama tidak bergerak.
Beberapa anak di tendaku sudah masuk ke dalam sleeping bagnya masing-masing. Dony bahkan sudah terlelap. Sedangkan tiga lainnya masih mengobrol satu sama lain.
Di tenda sebelah nampak pula beberapa temanku sudah masuk ke dalam sleeping bagnya dan tidur. Mas Bardiman dan Bramantyo kini berada di luar tenda. Tepatnya di lorong penghubung antar tenda. Mereka memasak air.
Aku berpikir, mungkin yang mereka lakukan kali ini adalah sebagai penutup tanggung jawab mereka berdua sebagai senior dan pemimpin pendakian. Mereka memasak air dan membuat minuman panas. Setelah itu baru mereka bisa tidur tanpa beban.
Tak butuh waktu lama. Cukup 15 menit minuman panas yang terdiri dari kopi susu dan jahe susu telah tersedia.
Melihat minuman panas di atas gunung yang dingin seperti ini sama halnya seperti melihat minuman dari surga. Sangat menyenangkan.
Uap panas keluar dari permukaan airnya dan membumbung tinggi ke langit-langit terpal flysheet tenda. Mereka telah siap untuk dinikmati.
“Ayo bangun kopi susu sudah siap....” Mas Bardiman lagi-lagi meneriakkan komando. Namun kali ini suaranya sudah semakin menipis dan parau.
“Oke, Mas....” hanya aku yang menjawab.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Gunung: MERAPI #1
Romancenovel fiksi/sejarah/romansa/petualangan Hari itu, tanggal 27 Mei 2006, tepat pukul 05.55 WIB tanah bergoyang teramat kencang di bumi Yogyakarta. Gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa daerah di sepa...