73

95 1 0
                                    

“Mas, ... bangun”
Suara seseorang terdengar sayup-sayup.

“Don ...?” aku lihat Dony sudah bangun. Dan kini ia membangunkan yang lainnya yang masih tidur.

“Sudah subuh, Mas.” Dony kembali menegur.

“Iya, Don” jawabku singkat.
Aku masih mencoba mengembalikan ragaku. Mataku masih berat. Ditambah dingin yang luar biasa masih juga mampu menusuk-nusuk. Bibir terasa lengket seperti membeku.

Tampak dari dalam tenda ada embun yang masuk dan membasahi seluruh dinding tenda. Aku pikir di luar pasti sangat dingin.

Namun kali ini tak terdengar ada gemuruh angin yang menggoncang-goncang tenda. Sepertinya angin sudah hilang.

Jika angin kencang sudah tak ada, berarti musuh utama kini tinggalah kabut dan dingin.

Aku masih dalam pikiranku tentang keadaan luar. Dony sudah membuka pintu tenda yang tertutup rapat. Tampak di lorong tenda, Mas Bardiman sedang duduk sambil memasak air.

“Ayo semuanya bangun. Sudah subuh, waktunya sholat bagi yang menjalankan” teriak Mas Bardiman membuka pagi yang masih petang ini.
*

Pukul 5 pagi. Aku sudah bangun dan selesai dengan ibadahku. Beberapa lainnya masih di dalam sleeping bag, tampaknya mereka masih betah dalam tidurnya.

Kopi susu dan teh panas sudah siap sedia dalam cangkir. Semua telah siap dinikmati.

“Beberapa menit lagi akan ada sunrise. Bagi yang ingin menikmatinya silahkan keluar.” Mas Bardiman membebaskan kami.

“Sampai jam berapa Mas sunrisenya?” tanya Bara yang masih mantap di dalam sleeping bagnya.

“Jam 7 juga masih ada Bar”

“Yess... lanjut tidur”
*

Saat aku keluar tenda, Mas Bardiman dan Mas Bramantyo sudah berdiri dan menghisap rokoknya dalam-dalam.

Aku tersenyum, dalam hati aku berkata “Akhirnya buka puasa juga mereka”.

Aku melihat kedua seniorku itu kini seperti mendapat angin segar. Mereka seperti terlahir kembali ke dunia hanya dengan menghisap batang rokok mereka.

Asapnya membumbung tinggi menuju langit dan menghilang. Bau rokok langsung cepat hilang terbawa angin. Jika di bawah sana normalnya asap rokok akan membawa aroma pekat dan membuat penghirupnya terbatuk-batuk. Tapi di atas gunung, di Pasar Bubrah ini, asap rokok itu cepat hilang termakan angin pagi yang berhembus sejuk. Keadaan seperti ini seperti surga bagi mereka.
“Whuusssss...”

Aku berdiri sambil memegang kopi susu panasku.

Tiba-tiba Mas Bardiman berkata:
“Ini balasan atas semua kerja keras kita semalaman Ma. Sejak sore di basecamp hingga pagi menjelang ini.”

Ada semburat emas tiba-tiba muncul malu-malu dari ujung barat sana. Jauh di ujung paling barat.

Di bawahnya ada sekumpulan awan putih sedikit kebiruan yang tampak seperti kapas beterbangan. Awan kapas itu terbentang sepanjang mata memandang.

“Aku berdiri di atas awan?” aku heran di dalam hati. Sekaligus tak percaya.

Siang kemarin aku bergulat dengan pikiranku tentang awan. Awan itu tidak setia karena berpindah-pindah. Aku selalu melihat ke atas dan memikirkan tentangnya. Tapi kini ... awan yang kubicarakan kemarin justru ada di bawahku. Aku yang berada di atas meraka.

Tak henti-hentinya aku takjub. Padahal pemandangan seperti ini selalu terjadi setiap paginya. Bahkan setiap saat. Sudah hukum alam. Lantas kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Menyadari kemenakjuban ini?

Novel Gunung: MERAPI #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang