Belum sempat orang-orang bernafas lega karena beberapa saat yang lalu mereka tengah merasakan gempa besar, tiba-tiba sesuatu yang lebih menggoncangkan terjadi.
“Banyu…!!! Banyu…!!!”
“Banyu…!! Banyune wis tekan…!!”
“Ono tsunami…!! Mlayu…!!”
Teriakan-teriakan yang lebih keras dari sebelumnya membuncah. Kali ini bukan teriakan akan gempa bumi seperti sebelumnya, melainkan teriakan ada gelombang besar yang datang dari laut selatan. Gelombang besar itu bernama tsunami.
Berita datangnya tsunami menjalar seperti kilatan petir, begitu cepatnya hingga orang-orang segera tau akan berita tersebut. Semua warga Jogja diuji kembali dengan ujian yang berat. Mereka tak sempat memikirkan betul tidakkah berita tsunami itu. Atau barang kali hanya isu yang disebarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tapi sungguh mereka sama sekali tak sempat untuk mencari tau kebenaran berita itu. Hanya satu yang bisa mereka lakukan: lari.**
“Ahh.. mengerikan” gumamku dalam hati. Lagi-lagi kopi panas membasahi bibirku.
“Apa benar orang-orang akan mengingat Tuhan? Di saat-saat seperti itu? Atau malah tidak ingat sama sekali? Mungkin dari peristiwa itu akan terjawab siapa yang imannya kuat dan siapa yang imannya lemah. Tuhan Maha Tahu.”
Aku ambil lagi cangir kopi hitamku. Baru sadar ternyata sudah dingin. Tetap saja kusruput. Tapi kali ini belum sampai klimaks pada sruputannya, kopi hitam itu ternyata sudah habis dan hanya menyisakan ampas-ampas hitam saja yang tentu rasanya pahit kalau harus dimakan. Namun sepahit-pahitnya ampas kopi hitam itu, masihlah pahit kenyataan yang harus diterima masyarakat Jogja pada waktu itu. Kopi pun habis. Tanda aku harus segera merampungkan tulisanku.
**
Teriakan tsunami itu ada dimana-mana. Menjalar dari mulut ke telinga dan terus-seterusnya hingga semua orang sgera tahu. Orang-orang tak sempat memberaskan apapun karena mereka harus lari menyelamatkan diri. Tanpa komando, mereka sepakat untuk lari menuju satu arah: utara.
Tsunami bukanlah kosakata baru dalam kamus bencana di Indonesia. Akhir Desember 2004 lalu, kata tsunami muncul di berbagai media cetak dan televisi. Berita mengenai tsunami mengisi semua layar kaca nasional maupun internasional. Dan tak pernah absen menjadi menu utama running text di televisi. Media massa tak henti-hentinya mengulas berita itu. Adalah tragedi tsunami Aceh yang menjadi headline news di mana-mana pada akhir 2004 hingga awal 2005. Memori berita itu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Jogja. Teriakan gempa mungkin menakutkan namun mereka masih bisa bertahan. Bagaimana dengan tsunami? Teriakan tsunami?
Akankah ratusan ribu jiwa yang melayang pada waktu tsunami Aceh 2004 akan kembali terulang di daerah istimewa ini?
*
Sementara itu. Kebingungan melanda seorang bapak. Bapak itu tidak tahu harus bagaimana ketika ia mendengar teriakan gelombang tsunami sudah datang, sedangkan saat itu ia baru saja mendapati seorang anggota keluarganya dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Orang-orang sudah berlarian menuju arah utara sedangkan ia masih diam mematung. Pikiran dan hatinya saling beradu. Pikirannya berpendapat sebaiknya ia segera lari saja karena orang-orang juga sudah berlarian, sedangkan hatinya mengatakan tetap di sana saja menunggui mayat salah satu anggota keluarganya itu. Bapak itupun berpikir: apa ini sebuah drama film yang menyedihkan dimana seorang bapak harus meninggalkan anaknya yang mati supaya ia bisa tetap bertahan hidup dari serangan musuh? Namun bapak itu segera sadar bahwa ini bukan film dan bukan musuh yang sedang mengancam, melainkan kabar mengenai datangnya gelombang tsunami yang sudah dekat dan akan segera tiba di tempat bapak itu berada. Setelah beberapa saat termenung dalam pergulatan pikiran dan hati, akhirnya si bapak membulatkan tekad untuk mengambil sebuah keputusan. Yakni mengikat mayat anaknya pada sebatang pohon dengan harapan mayat tersebut tidak hanyut terbawa arus tsunami.
Bapak itu mengikat mayat anaknya dengan seutas tali yang terbuat dari sobekan kain seadanya karena tak mungkin mencari-cari tali yang bagus. Mengikat mayat pada sebuah pohon dengan alasan supaya mayat tersebut tidak hilang karena terbawa arus gelombang tsunami bukan serta merta tanpa pertimbangan. Bapak itu sudah mempertimbangkannya matang-matang. Dari pergulatan pikiran dan hatinya tadi mendapat kesepakatan bahwa anaknya yang mati harus selamat, dan dirinya sendiri juga harus selamat.
Bagi sebuah pohon mangga tentu cukup kuat untuk menahan satu mayat anak kecil. Hanya butuh dua menit sampai apa yang ia kerjakan benar-benar selesai. Tanpa memberi salam atau mendoakannya terlebih dahulu, bapak itu langsung bergegas lari menuju utara. Namun yang jelas ia telah mengecup dahi anaknya tersebut yang mungkin untuk terakhir kalinya sebagai tanda kasih sayang dari seorang bapak kepada anaknya. Harapannya kepada Tuhan hanya supaya anaknya yang mati selamat dan ia sendiri semoga juga selamat. Apakah si bapak tetap hidup atau justru menyusul anaknya ke alam baqa? Itu urusan Tuhan. Yang si bapak tahu hanya berdoa dan … lari.
Ada kalanya jawaban atas pergulatan pikiran dan hati seseorang adalah sama. Dan hal ini terjadi. Ternyata bapak itu bukanlah satu-satunya orang yang mengikat mayat di pohon. Beberapa orang juga melakukan hal serupa. Siapa yang menduga keputusan berat segelintir orang di tempat berbeda bisa sama. Hanya Tuhan yang tahu.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Gunung: MERAPI #1
Romancenovel fiksi/sejarah/romansa/petualangan Hari itu, tanggal 27 Mei 2006, tepat pukul 05.55 WIB tanah bergoyang teramat kencang di bumi Yogyakarta. Gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa daerah di sepa...