Di atas sana matahari telah bersinar terang dan membagikan sinarnya. Sinar itu menghangatkan siapa saja yang berada dalam jangkauannya. Tapi sepertinya tak ada seorang pun sedang bersantai merasakan hangatnya sinar matahari pagi sembari menikmati secangkir kopi panas dan membaca koran pada saat itu. Orang-orang sedang berlarian dan berteriak-teriak. Sungguh itu bukanlah pemandangan sebuah perayaan pesta dimana orang berjoget dan berteriak. Orang-orang berlari karena mereka mendengar gelombang besar bernama tsunami yang memakan ratusan jiwa di Aceh silam sedang datang dan akan segera menghampiri mereka.
Kegemparan tersebut menyebar dengan sangat cepat. Bermula dari Bantul bagian selatan kemudian menjalar hingga Bantul bagian utara. Dan seterusnya hingga sampai di telinga orang-orang dalam kota.
Orang-orang berlarian. Bagi yang memiliki kendaraan, mereka menungganginya. Saking banyaknya orang pada saat itu membuat macet parah di persimpangan dan perempatan jalan. Bantul ramai sekali, menjalar hingga dalam kota Jogja. Orang-orang tak punya tujuan yang jelas, namun yang pasti mereka menjauh dari arah selatan karena air naik dari selatan.“Banyune soko kidul…!!”
“Tinnn… tininin…tinnn..!!!!” Suara klakson sepeda motor dan mobil saling bersahutan. Kali ini bukan suara klakson akibat goncangan besar, melainkan suara klakson yang memang senagaja dibunyikna si pemilik kendaraan. Suara klakson yang semakin banyak dan saling bertabrakan itu membuat suasana semakin tidak kondusif. Rasanya seperti euforia pawai motor partisipan sebuah partai politik. Namun yang pasti bukan euforia kebahagiaan yang terjadi saat itu, melainkan kepanikan orang-orang dari selatan yang berbondong-bondong menuju arah utara.
“Ya Gusti nyuwun ngapuro..”
*
Masyarakat Sleman dan sebagian besar penduduk di lereng Gunung Merapi tentu ikut merasakan gempa berkekuatan 5,9 skala richter yang terjadi beberapa saat yang lalu. Kepanikan luar biasa juga mereka alami saat gempa bumi tersebut berlangsung. Namun kerusakan yang ditimbulkan tidak separah sebagaimana yang terjadi di Bantul. Masyarakat Sleman merasakan duka yang sama seperti daerah-daerah lain yang terdampak gempa. Namun kebanyakan dari mereka tidak serta merta menerima begitu saja gempa tersebut. Tak sedikit dari mereka yang mempertanyakan asal muasal gempa dahsyat tersebut. Pasalnya pada saat kejadian suasana Sleman dan daerah-daerah lereng Gunung Merapi sedang dihantui oleh aktivitas Gunung Merapi yang terus meningkat.
Berita tentang status Merapi yang mengalami gempa tektonik dan menyemburkan material vulkanik sudah sering menghiasi layar kaca televisi lokal. Sehingga wajar masyarakat Sleman dan masyarakat lereng Merapi bertanya-tanya darimana asal gempa dahsyat beberapa saat yang lalu itu. Mereka selalu was-was apakah gempa besar itu pertanda Merapi akan meletus hebat, karena selama ini yang mereka rasakan hanya gempa-gempa kecil saja dan terasa tidak begitu kencang.
*
Kepanikan luar biasa terjadi di dalam kota Jogja. Masyarakat dan para mahasiswa berlarian menuju utara setelah mendengar adanya kabar tsunami yang sudah naik. Bahkan ada yang meneriakkan airnya sudah kelihatan. Namun bersamaan dengan kepanikan itu, di bagian lain Jogja juga mengalami kepanikan yang sama namun berbeda cerita.
Masyarakat di dalam kota bagian utara justru berlarian menuju selatan. Ironi yang sungguh ironis.“Woii…mlayu ngidul!!”
“Merapi mbledos!!!”
Teriakan-teriakan dengan alasan lain sama-sama membuncah di bagian utara kota Jogja.“Merapi meletus…!!!”
Sesuatu yang amat mengerikan terjadi. Kali ini bukan gempa bumi yang mengoncang seperti beberapa saat yang lalu, melainkan kabar datangnya gelombang tsunami dari arah selatan dan kabar meletusnya Gunung Merapi yang datang dari arah utara. Mereka yang dari selatan berlarian menuju ke utara sedangkan mereka yang dari utara berlarian menuju ke arah selatan. Benar-benar ironis. Yang terbesit saat itu hanya prasangka-prasangka negatif akan bencana besar yang bisa merenggut ratusan ribu jiwa seperti di Aceh dua tahun yang lalu. Belum lagi letusan Merapi bukan pula perkara kecil. Awan panas yang membumbung tinggi bisa membakar apa saja yang ada di bawahnya tak terkecuali manusia. Akan ada berapa banyak jiwa yang melayang jika tsunami menghantam Jogja, atau berapa banyak pula jiwa yang melayang akibat terjangan awan panas Merapi? Yang bisa mereka lakukan hanya lari saja. Pikiran negatif itu membawa mereka menuju kepanikan luar biasa.
Orang-orang saling bertubrukkan. Ibarat aliran air yang bertabrakan yang meluncur dari arah selatan dan dari arah utara. Mereka pun mencuat ke atas berhamburan kemana-mana menuju ke segala arah. Pikiran negatif akan bencana yang sesungguhnya belum mereka rasakan itu telah membuat Yogyakarta berguncang untuk kedua kalinya. Bahkan guncangan kali ini lebih menyakitkan ketimbang guncangan oleh gempa bumi sebelumnya. Inikah ‘peringatan sebelum peringatan yang sesungguhnya’? Peringatan dari Tuhan Sang Pencipta Langit dan Bumi?
Kepanikan itu pun berhenti dan hangus begitu saja selepas pukul 08.00 pagi itu.
*
Tsunami dan letusan Merapi hanyalah kabar burung yang entah darimana mereka berasal. Tapi yang jelas kabar itu tentu diturunkan dari Tuhan untuk masyarakat Jogja. Kalau tidak, mana mungkin hanya dengan berita bohong bisa mengguncang masyarakat yang begitu luasnya tersebut. Bukan hanya itu, mereka terpelajar, dan juga ‘istimewa’.
Tapi yang jelas orang-orang pada waktu itu sangat bersyukur bahwa kabar datangnya tsunami dan meletusnya Merapi adalah tidak benar. Apa jadinya jika dua hal atau salah satu dari mereka sungguh-sungguh terjadi?
Mungkin Tuhan masih memaafkan dan memberi kesempatan kedua kepada masyarakat Jogja. Dan itulah memang yang diharapkan. Mereka akan berusaha lebih baik dan akan selalu mengingat peringatan Tuhan kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Gunung: MERAPI #1
Romancenovel fiksi/sejarah/romansa/petualangan Hari itu, tanggal 27 Mei 2006, tepat pukul 05.55 WIB tanah bergoyang teramat kencang di bumi Yogyakarta. Gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa daerah di sepa...