Loncat ke Bab 18 (Part 70)

40 0 0
                                    

LANGKAHKU semakin berat. Pandanganku juga semakin redup. Angin semakin kencang dan kabut juga semakin tebal.

Tiba-tiba terdengar seperti suara teriakan.

“Maas ....”
Suara itu semakin terdengar keras.

“Maaaaaaaaas,.....!!!”

Benar. Itu suara Tatan dan Rocky. Mendengar suara mereka, aku langsung mempercepat langkahku. Andai bisa berlari pasti aku sudah berlari. Namun aku harus tetap fokus. Menjaga keseimbangan tubuh dan juga pandangan. Salah-salah malah aku bisa terjungkal ke bawah dan terjun ke jurang.

“Woiiii......!!!”
Demi mengurangi kecemasan mereka. Aku juga berteriak.

“Kita sudah sampaiiiiiii!!!!” teriakan Tatan dan Rocky seperti menembus jutaan partikel angin yang berlari ke sana ke mari. Suara itu langsung tertangkap daun telingaku dan masuk ke dalam saluran pendengaran hingga terespon oleh otak.

Mendengar teriakan itu tentu membuatku bahagia. Otaku merespon positif. Itu artinya aku sudah dekat dan hampir sampai di lokasi camp.

“MASSSS....!!”

“Iya Tan, sudah dengar!!!”

Tatan masih saja berteriak. Tampaknya sifat pendiamnya tak berlaku di saat-saat seperti ini. Ia bisa melepaskan suara yang sangat keras jika dalam kondisi genting. Bahkan suara keras Rocky pun bisa dikalahkannya.

Kemudian trek berangsur-angsur semakin landai.

Tatan, Rocky, dan juga Mas Bramantyo akhirnya terlihat. Mereka sedang berdiri berjajar menghadapku.

Angin mulai luruh. Dan berangsur-angsur mengecil. Kabut juga mulai hilang. Tampaknya tadi hanya lewat.

“Maa... kita sudah sampai.” Mas Bramantyo mulai berbicara.

“Pasar Bubrah, Ma. Yang kuceritakan tadi.”
*

Sejauh mata memandang adalah kegelapan. Sinar headlamp tak mampu menembusnya. Itu menandakan di depan kami adalah tempat yang sangat luas dan jauh.

Sekilas aku hanya bisa menggambarkan Pasar Bubrah ini sebagai lahan yang luas, datar, dan berbatu. Seperti lapangan. Tak ada pohon satu pun. Yang ada hanya batu dan pasir. Jutaan bahkan milyaran batu kecil-kecil.

“Sudah jangan bengong.... langsung cari tempat.” Mas Bramantyo memecah lamunanku yang sedang melihat ke sekitar.

“Tempatnya yang mana, Mas? semuanya datar dan luas.” tanyaku kemudian.

“Cari batu yang besarnya segajah. Kita camp  di dekatnya.”

“Oh, oke, Mas.” kami bertiga mengangguk.

Kami berempat lalu mengarah ke sisi kiri. Kami mengikuti langkah Mas Bramantyo. Ia telah berpengalaman mendirikan tenda sebelumnya di tempat yang disebutkannya tadi.

Belum lama mencari, Rocky langsung menemukan lokasinya “Ketemu, Mas!!”

“Ayo langsung ke sana!” teriak Mas Bramantyo.

Kami langsung menuju tempat tersebut. Sesampainya di Pasar Bubrah angin tiba-tiba menghilang, sehingga kami memanfatkan keadaan ini untuk segera mendirikan tenda.

Beberapa teknik mendirikan tenda telah diajarkan dan dipraktikan beberapa malam yang lalu oleh Mas Bardiman. Aku, Tatan, dan Rocky cukup paham dasarnya. Hanya dibutuhkan kurang dari 45 menit dua tenda kapasitas 6 orang telah berdiri.

Tenda telah siap. Matras pun dimasukkan dan dipasang di dalam tenda sebagai alas.

Kami memasang tenda saling berhadap-hadapan satu sama lain. Mas Bramantyo mengatakan supaya mudah untuk komunikasi antar penghuni tenda.

Tenda telah berdiri cantik. Matras juga sudah terpasang. Barang-barang yang kami bawa termasuk tas yang berat semuanya telah masuk ke dalam tenda.

“Akhirnya....” teriaku dalam hati.

“Ayo semua masuk !” Mas Bramantyo memberikan komandonya. Dan kami menuruti. Semua masuk.

Nasib baik rupanya sedang berpihak kepada kami. Begitu kami memasuki tenda. Angin kencang kembali berhembus.

Kali ini kami tinggal memberikan harapan kami kepada kelompok selanjutnya. Mereka bertujuh di luar sana yang sedang berjuang.

“Semoga mereka baik-baik saja ya” kataku.

“Iya, Mas. Semoga baik-baik saja” jawab Rocky

“Tenang saja. Kita tunggu sebentar lagi pasti mereka akan segera sampai. Aku akan keluar memberikan sinyal kepada mereka supaya tahu keberadaan tenda kita. Kalian tunggu di dalam saja.” Kali ini Mas Bramantyo menjadi komando. Aku menangkap kelelahan pada wajahnya.

“Biar aku saja, Mas....!” pintaku sambil berteriak.

“Aku saja, Ma”

“Tak apa, Mas. Aku sekalian mau buang air kecil”

“Oh begitu. Yasudah. Aku tunggu di dalam saja.”

Aku keluar dari tenda. Masih lengkap dengan jaket gunung tabalku. Kali ini aku membawa senter. Mas Bramantyo mengarahkanku untuk membuat sinyal cahaya berkedip dengan senter ini. Aku mengiyakan.
Belum lama aku keluar dari tenda, sudah terlihat bayang-bayang banyak orang yang berjalan beriringan.

Aku langsung memberikan sinyal dengan senter.

Dan benar saja. Ada respon yang serupa dari orang-orang itu berupa cahaya senter yang juga berkedip-kedip.

Itu mereka.
*

Novel Gunung: MERAPI #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang