Loncat ke Bab 15 (Part 58)

40 1 0
                                    

PUKUL 5 sore. Di tempat berbeda.
Kami sudah berada di basecamp pendakian Gunung Merapi. Basecamp ini adalah sebuah rumah biasa yang dijadikan sebagai tempat pendaftaran para pendaki dan penginapan pendaki.

Karena hari telah sore. Aku pikir akan melihat semburat merah atau semacamnya. Atau cahaya senja yang hangat sama seperti di Bukit Bintang. Namun pemandangan di basecamp justu gelap abu-abu. Suasana sangat dingin. Lebih dingin dari pada AC mobil.

Tampaknya kami terkepung kabut. Seperti yang dikatakan Mas Bardiman bahwa di kaki gunung cuaca akan selalu dingin saat sore maupun malam karena akan diselimuti kabut.

“Whusss...”

Setiap kali aku menghembuskan napas panjang dari mulut maka akan terlihat uap. Persis sekali terlihat seperti orang merokok. Hanya saja lebih tipis. Abu-abu. Karena jarang mengalami kejadian seperti ini, beberapa anak terutama junior-juniorku mereka saling bermain hembusan napas.

“Whuss..... whussssss..... whusssssssss....”

“Ayo semua beres-beres dulu” perintah Mas Bardiman mengakhiri perang napas para junior.

Kami pun mengeluarkan semua barang-barang dari dalam bagasi. Terlihat cukup banyak karena memang jumlah personel ada 11 orang.

Bergerak hanya membawa barang-barang dari bagsai ke dalam basecamp cukup membuat badanku menjadi hangat. Mungkin ini reaksi panas dari dalam tubuh. Kalau begitu mungkin aku harus banyak berjalan kesana kemari atau bahkan lari-lari untuk mengangatkan tubuh.
*

30 menit berlalu. Dingin masih menusuk-nusuk. Namun masih dalam status wajar. Mas Bardiman memesan kopi susu panas untuk kami bersepuluh, dengannya jadi sebelas.

Ternyata selain dijadikan tempat berkumpul atau menginap, basecamp ini juga menyediakan makanan dan minuman. Bisa dibilang semacam hotel kecil-kecilan. Ada kamar dan restaurannya.

Basecamp ini tidak begitu luas. Orang-orang melihat kami bersebelas sudah seperti melihat satu ruangan kelas penuh mahasiswa. Ramai.

Kami memutuskan untuk duduk-duduk di halaman basecamp yang dipenuhi kabut sambil menunggu pesanan kopi susu tiba.

Mas Bardiman masih disibukkan dengan urusan administrasi atau semacamnya. Yang jelas ia bersama Mas Bramantyo sedang berbincang-bincang dengan orang lain yang terlihat seperti penjaga basecamp.

Aku masih duduk diam. Mengamati suasana baru. Suasanya yang sama sekali belum pernah aku rasakan selama bertahun-tahun tinggal di Jogja. Beberapa kali aku memang pernah pergi ke daerah Kaliurang yang terkenal dingin, dekat dengan kampus UII ‘atas’. Namun saat itu agendanya adalah main-main ke rumah salah satu temanku yang kuliah di UII. Buka mendaki gunung. Pernah juga tiga hari aku menginap di sebuah villa di wilayah Pakem. Memang saat itu sama dingin seperti sekarang di basecamp. Namun pemandangannya berbeda. Waktu itu hanya pemandangan pohon-pohon saja, sama sekali tidak terlihat seperti sedang berada di kaki gunung. Sedangkan di basecamp ini, terlihat rumah-rumah sederhana dan perkebunan. Khas sekali dengan kehidupan lereng-lereng gunung seperti yang pernah aku baca di dalam buku.

Rumah-rumah warga berkumpul di dekat jalan. Mungkin supaya lebih mudah dalam komunikasi. Selain itu aku melihat ada pipa-pipa kecil yang terjulur dari rumah ke rumah, dari yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Setelah aku amati lebih lanjut, ternyata itu adalah pipa air. Sumbernya dari gunung. Mungkin juga rumah yang saling berjajar dan dilalui pipa-pipa ini tujuannya untuk memudahkan pembagian air tersebut. Bisa jadi. Seperti yang pernah aku baca di buku, masyarakat lereng gunung cenderung memanfaatkan air dari gunung, ketimbang air dari hujan.
*

Novel Gunung: MERAPI #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang