Pukul 7 malam lebih 30 menit. Kami telah berdiri masing-masing menggendong tas carrier dan membawa alat penerangan. Ada yang membawa senter, ada yang memakai headlamp.
Semua peralatan kelompok telah dibagi merata. Aku kebagian menggendong satu tenda. Mas Bardiman juga satu tenda. Lainnya membawa logistik makanan dan peralatan lain. Tatan membawa kamera DSLR nya. Ia ditugasi sebagai juru potret.
Secara lengkap bisa aku gambarkan seperti ini:
Mas Bardiman memimpin rombongan. Ia berjalan paling depan.
Rocky dan Dony menyusul di belakangnya. Mereka berdua membawa logistik snack untuk dimakan di perjalanan mendaki.
Kemudian di belakangnya lagi ada Ibnu, Bara, Lindung, Ammar, dan Londo. Londo membawa P3K.
Dan terakhir paling belakang ada Aku, Tatan, dan Mas Bramantyo. Tatan membawa kamera DSLR dan kamera saku. Untuk malam ia cukup memakai kamera saku saja.
Mas Bardiman memberi arahan bahwa posisi jalan boleh saja bertukar-tukar. Yang terpenting paling depan tetap Mas Bardiman dan paling belakang tetap Mas Bramantyo. Hal ini dilakukan karena mereka berdua yang berpengalaman dan paham soal jalur pendakiannya. Mas Bardiman di depan akan memimpin, sedangkan Mas Bramantyo di belakang akan mengawasi.
“Ingat nanti jika ada di antara kalian yang kecapaian maka teriak saja ‘break’. Itu kode yang biasa dijadikan oleh para pendaki sebagai tanda untuk istirahat.”
“Pokoknya seperti yang aku katakan sebelumnya. Kita jangan bercanda yang negatif. Semua pikiran tetap harus positif. Tidak boleh melamun. Dan tetap fokus karena jalanan gelap.”
“Sekarang pukul 7.30, menurut pengalamanku dan Mas Bram, jika mendaki Merapi malam-malam begini akan sampai lebih cepat.”
“Oh iya, tujuan kita adalah Pasar Bubrah, seperti yang aku jelaskan kemarin-kemarin malam.
Estimasinya jika kita berjalan santai maka kira-kira pukul 12.30 kita sudah sampai di Pasar Bubrah.”
“Satu lagi. Saat break atau istirahat nanti, usahakan jangan berlama-lama. Kalau kelamaan kita bisa kedinginan dan ngantuk. Jika sudah ngantuk apalagi ketiduran maka akan lebih berat lagi untuk berjalan lagi. Jadi saat break kita cukupkan 5-10 menit saja.”
“Oke semua?” tutup Mas Bardiman.
“Okeee..!!” Jawab kami serentak.
Malam itu di bawah lampu basecamp yang redup sedang. Kami bersebelas berdiri melingkar membaca doa masing-masing dalam hati.
Penjaga basecamp sudah memberikan wejangannya sama persis dengan Mas Bardiman katakan sewaktu kami sedang menikmati kopi susu panas. Mendengar wejangan-wejangan berkali-kali dikatakan membuat kami menjadi sangat paham.
Dalam hati aku berdoa:
“Bismillahirrohmanirrahim. Ya Allah lancarkan dan selamatkanlah perjalanan pendakian kami ke Merapi ini. Gunung ini yang adalah kekuasaanMu, kami mohon izin untuk mendakinya ya Allah ya Rabb. Selamatkanlah kami hingga kami pulang ke rumah. Kembali dengan selamat ke rumah kos kami ya Allah ya Tuhanku. Aamiin.”
“Doa selesai”
Kami bersebelas menumpuk telapak tangan.“Kos 639 ...... ”, “Bisaaaa!!!!” teriak kami bersebelas memecah kesunyian malam. Beberapa orang tampak melihat, kami tak peduli. Pandangan kami hanya tertuju kepada jalanan menanjak ke arah atas sana. Ke Merapi.
*Detik-detik bersejarah kali ini sedang berlangsung. Pendakian pertamaku. Penjelajahan alam pertamaku. Liburan pertamaku ke gunung. Di saksikan langit yang gelap bertabur bintang. Bintang-bintang yang masih sama banyak seperti beberapa malam yang lalu aku menghitungnya. Namun kali ini jauh lebih banyak. Mereka seperti menonton kami bersebelas yang hikmat. Anak-anak mahasiswa yang mencoba memahami alam. Kesebelasan yang bukan bermain sepak bola. Melainkan mendaki gunung. YA, kami kesebelasan dengan satu penyerang dan satu penjaga gawang. Kami siap memulai permainan.
*Angin berhembus pelan namun membawa dingin yang kuat. Semakin tubuhku terhembus oleh angin maka semakin dingin terasa menusuk-nusuk. Padahal aku sudah memakai jaket gunungku yang masih baru ini.
Mas Bardiman dan Mas Bramantyo malahan tak memakai jaket gunungnya. Mereka lebih memilih memakai sweater. Padahal suhu dingin seperti ini. Tapi aku tidak bisa menyalahkan. Mereka berdua toh lebih berpengalaman.
Melihat malam yang gelap seperti ini mataku seperti buta warna. Hanya warna hitam, putih, dan oranye saja yang terlihat. Hitam untuk pekatnya langit dan gelapnya sekeliling. Putih untuk warna cahaya lampu dan bintang-bintang yang berkelap-kelip. Dan oranye untuk cahaya dari lampu-lampu jalan di bawah sana.
Orang-orang masih juga memandangi kami. Penjaga basecamp juga. Pandangannya lekat kepada kami. Seakan sedang melepas kepergian seseorang yang disayanginya. Pandangannya mungkin seperti pandangan para orang tua ketika melepas anak-anaknya yang hendak pergi merantau. Penuh kasih sayang dan pengharapan. Pengharapan untuk kembalinya anak-anaknya tersebut. Si penjaga basecamp aku rasa juga memiliki pengharapan yang sama seperti para orang tua. Ia mengharap kami kembali dengan selamat ke basecamp dan berjumpa lagi dengannya.
Si penjaga basecamp yang aku tak tahu siapa namanya. Meskipun kami tak saling berkenalan. Hanya beberapa di antara kami saja yang sempat berbincang-bincang dengannya. Si penjaga masih juga berdiri di bawah lampu yang temaram.
Sedangkan Mas Bardiman sudah berjalan. Diikuti yang lain sesuai urutan yang telah disepakati sebelumnnya.
Semua sudah mulai bergerak. Mas Bramantyo juga.
Aku masih diam. Melihat si penjaga basecamp tadi yang berdiri mematung dengan pandangan penuh pelepasan seperti itu aku jadi teringat akan seseorang. Seseorang yang ku sayangi.
Aku memutar badan dan mulai berjalan.
Aku mengingat kembali perpisahan terakhirku dengan kekasihku yang dulu.
Ia berdiri mematung dengan tatapan yang ....
Tak bisa kugambarkan.
Aku meninggalkannya sendirian di peron stasiun Tugu siang itu. Sama seperti aku menjumpainya saat siang bertahun-tahun sebelumnya. Ketika pertama berjumpa dahulu, ia yang berjalan menjemputku. Sedangkan saat perpisahan waktu kemarin ia yang berdiri mematung, aku yang berjalan meninggalkannya.
Ada air mata dari dua bola matanya yang mengalir tipis ke pipi. Tapi raut mukanya tidak cengeng. Ia tetap datar namun berurai air mata. Menggambarkan ketegaran hati di atas kesakitan. Dan aku meninggalkannya begitu saja setelah kuucapkan:
“Sampai jumpa ya. Semoga kamu bahagia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Gunung: MERAPI #1
Romancenovel fiksi/sejarah/romansa/petualangan Hari itu, tanggal 27 Mei 2006, tepat pukul 05.55 WIB tanah bergoyang teramat kencang di bumi Yogyakarta. Gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa daerah di sepa...