2

1.1K 12 0
                                    

     “Allahuakbar…!! Allahuakbar…!!”

     “Lindu…!! Lindu…!!”

     “Gempa…!! Gempa…!!!”

     Teriakan mengagung-agungkan nama Tuhan menggema dimana-mana. Siapa meneriaki siapa, atau mau diarahkan kemana teriakan itu, mereka sama sekali tak memikirkannya. Mungkin itu adalah teriakan refleks yang keluar dari mulut atas dorongan rasa kaget yang sangat besar dari dalam tubuh sehingga teriakan itu keluar dengan kerasnya dan dilakukan berkali-kali. Atau mungkin itu adalah teriakan atas penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan menerima kenyataan dengan terpaksa  bahwa itu adalah hari terakhir mereka hidup di dunia.

      Lima puluh tujuh detik bukan waktu yang singkat demi merasakan gempa bumi yang dahsyat. Mungkin saat itu adalah semenit paling menakutkan yang dialami seluruh warga Jogja. Siapapun ia, apa jabatannya, kaya-miskin, tua-muda, semuanya merasakan goncangan hebat itu. Mereka semua benar-benar dibangunkan pagi itu oleh alarm dari Tuhan.

     Goncangan selama satu menit itu membuka pintu luka bagi daerah yang diistimewakan tersebut. Ada yang menangis histeris tak henti-hentinya. Ada yang berlarian tanpa sehelai benang yang menempel di tubuhnya karena pada saat kejadian ia sedang mandi. Bahkan ada yang saking bingungnya bukannya berlari keluar rumah, justru malah masuk ke kamar dan mengunci pintu. Para bapak melantunkan adzan sebagai mana yang mereka ketahui dalam agama bahwa jika ada gempa bumi maka sebaiknya dilantunkan adzan. Para pemuda membawa kentongan dan memukul-mukulnya dengan sangat keras berharap yang masih tidur bisa segera terbangun dan menyelamatkan diri. Atau setidaknya bunyi kentongan tersebut bisa memberikan isyarat bahwa ada bencana, sehingga orang yang tidak menyadari adanya gempa karena mungkin sedang menikmati kursi goyangnya bisa segera sadar dan lari keluar rumah. Semarah apakah Sang Pencipta hingga menurunkan goncangan dari dalam tanah yang begitu lamanya itu?

     Selayaknya sebuah mimpi, semenit paling mengerikan itupun akhirnya berlalu. Orang-orang lalu membuka mata mereka dan berusaha bangun dari tidur, supaya bisa terlepas dari mimpi yang mengerikan itu. Namun bangun dari tidur tampaknya tidak cukup. Mereka sadar bahwa kenyataan setelah mereka bangun justru lebih mengerikan dari mimpi itu sendiri.

*

      Orang-orang selesai dengan teriakan-teriakan histerisnya. Adzan pun berhenti dikumandangkan. Semua yang bergoyang-goyang dan menari-nari telah usai. Permaintan tali si anak perempuan telah usai. Alarm telah berhenti. Namun masyarakat Jogja harus mengahadapi kenyataan yang pahit. Kenyataan pahit yang lebih pahit dari merasakan goncangan gempa selama satu menit. Yakni ditinggal orang yang disayanginya untuk selama-lamanya.

      Mereka yang berada di luar rumah untuk sejenak terdiam dan menyaksikan bangunan yang ada di depannya roboh. Sesekali mereka menggaruk-garuk kepala meskipun tidak gatal. Lalu mereka mengucek-ucek kedua mata mereka dan melihat kembali pemandangan di hadapan mereka dengan harapan itu semua adalah mimpi. Ya mimpi buruk. Namun tidak, ini nyata.

     “Tolong…!!”

Suara-suara dari mulut tak terlihat itu membangunkan mereka yang tidak percaya bahwa rumah-rumah sudah roboh dan jalan-jalan retak, memaksa mereka menerima kenyataan.

     “Tolong.. tolong!!”

Suara-suara minta tolong itu kembali memaksa orang-orang untuk mengusap bagian bawah mata mereka yang basah karena tangis dan memaksa mereka untuk menyingsingkan lengan untuk bangkit dan bergotong-royong menghadapi bersama-sama musibah ini.

*

     “Mbok…!! Mbok…!!” teriakan anak untuk ibunya yang sudah tua dan entah dimana.

     “Innalillahi…!!” sahutan antar warga.

     “Sing sabar yo mas.” pinta seorang tetangga kepada seorang pemuda yang kehilangan bapaknya.

     Masyarakat Jogja berduka. Burung-burung yang sudah kembali hinggap di markas mereka masing-masing mungkin tak merasakan apa yang para warga Jogja rasakan saat itu. Tapi sebenarnya burung-burung itu merasakan markas mereka tidak senyaman sebelumnya. Hanya sebatas itu yang burung-burung rasakan, tak lebih. Mereka tidak menangisi saudara mereka yang mati. Yang bisa burung-burung itu lakukan hanyalah sebatas bertahan hidup. Dan itulah yang dilakukan warga Jogja pasca gempa.

      Rumah yang sudah puluhan tahun menemani perjalanan hidup mereka hancur begitu saja. Dan bangunan yang mereka anggap memberi perlindungan saat hujan dan menjadi peneduh di kala panas menyengat, justru ambruk dan membunuh orang yang mereka sayangi.

      Dahsyatnya goncangan 5,9 skala richter itu telah merobohkan banyak rumah warga Jogja khususnya di daerah Bantul yang merupakan daerah paling dekat dengan pusat gempa.  Gedung-gedung di daerah kotamadya Jogja tak luput dari hantaman tersebut. Tak sedikit gedung-gedung yang mengalami keretakan pada beberapa sisi. Beberapa gedung itu adalah gedung kampus ISI, gedung kampus IAIN, gedung Mall Ambarukmo, dan gedung Mall Saphire Square. Tempat-tempat penting yang menjadi aset bagi pemerintah kota Jogja juga tak luput dari gempa. Yakni makam raja-raja di Imogiri yang beberapa tembok di pagarnya mengalami keretakan. Candi Prambanan pada beberapa bagiannya ada yang roboh kecil. Selain itu masih banyak fasilitas-fasilitas umum yang ikut terdampak gempa tersebut. Bandara Adi Sucipto pun terpaksa ditutup karena landasannya ada yang retak. Sehingga penerbangan banyak yang dialihkan menuju bandara-bandara terdekat seperti bandara Achmad Yani di Semarang dan bandara Adi Sumarmo di Solo.

      Gempa tersebut benar-benar mengguncang bumi Jogja, dan benar-benar ‘mengguncang’ jiwa masyarakat Jogja. Tuhan menyentil Jogja pagi itu. Namun sebenarnya mimpi buruk pada pagi itu belumlah usai. Sesuatu yang lebih mengerikan terjadi dalam hitungan menit setelah gempa berhenti.

*

Novel Gunung: MERAPI #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang