Kening Tama mengerut mendengar benda yang terjatuh dari nakas. Mengusap sebentar, Tama perlahan buka matanya.
Gelap. Masih malam, ternyata. Dari balkon, pintunya terbuka membiarkan sinar bulan menerangi kamar gelapnya.
Matanya melirik gelasnya yang terjatuh di atas beludru hitam. Untung aja udah gak ada isinya dan tidak pecah. Meraihnya lalu meletakkan di atas meja belajar.
Atensinya memutar, menangkap sosok yang sedang duduk di lantai balkon yang dilapisi karpet abu-abu. Jeka sedang duduk memunggunginya.
Dia gak tidur? Pikir Tama. Kedua tungkainya mulai menyentuh lantai, ia diam sejenak sebelum akhirnya mengayunkannya menghampiri Jeka.
"Gak tidur?" Tama bertanya, mendudukkan bokongnya di samping Jeka yang tengah duduk memeluk kaki panjangnya. Kupluknya ia pakai. Membuat Tama tidak bisa melihat dengan jelas wajah Jeka, "Jeka?"
Seakan baru sadar, cowok itu terkesiap. Mengerjap tiga kali ketika menoleh pada Tama yang memandangnya heran. Ah, tatapan itu entah kenapa membuat Jeka menghangat. "Kok udah bangun? Masih jam dua, loh," ucapnya, sedikit menarik ujung bibirnya.
Tama mengabaikan pertanyaan Jeka. Melihat tatapan sayu itu, Tama merasa kasihan. Tapi, itu apa?
"Lo kenapa duduk disini? Gue kira lo tidur." Tama menekuk kakinya, memeluknya, dan menaruh dagunya di sana. Tama bertanya hati-hati, "Ada masalah?"
Jeka menurunkan kupluknya seraya tersenyum sendu. "Gak ada. Lagian gue pengen merenung aja, sih," balasnya sedikit terkekeh, tapi Tama mengerti kekehan tersebut. Terdengar memilukan.
"Renungin apa?" tanya Tama penasaran. Kali ini ia rasa tidak bisa bercanda. Apalagi wajah Jeka terlihat tidak seperti biasanya. Matanya meredup. Tak ada tatapan khas yang selalu menggoda Tama. Seringaian lebar Jeka bahkan sangat sulit untuk dikeluarkan.
Kenapa? Dia kenapa?
Sunyi. Suasana diantara mereka tiba-tiba terkesan kaku. Bahkan, pertanyaan Tama barusan tidak dijawab. Tama melipat bibirnya ke dalam. Merasa pertanyaannya sudah kelewat lancang.
"Lanjut tidur, sana! Nanti telat," kata Jeka, kemudian memandang iris Tama, tepat di sana.
"Udah gak ngantuk." Tama menggeleng. Bibirnya tanpa sadar sedikit mengerucut. "Lo juga gak tidur."
"Kan gue gak sekolah," jawab Jeka, langsung. Melihat delikan sebal Tama, kali ini kekehan kecil Jeka terdengar tulus, "Lo gak mau tidur, ya, kalo gak ada gue, hm?"
"Apaansi!" Senyum Tama mengembang mendengar Jeka tertawa geli. Berhasil. Untuk sekarang, mungkin, Jeka sudah tak nampak murung lagi. Mengingatnya saja Tama benci. Itu sama sekali bukan Jeka yang jail dan menyebalkan.
Tiba-tiba Jeka berdiri. Membuat Tama mendongak dan menatapnya heran. Begitupun Jeka, ia juga memandang Tama heran. "Kenapa masih duduk? Ayo tidur!"
"Lo ngajak berasa mau tidur berdua aja!" Tama mendengus. Berdiri, kemudian jalan mendekati kasurnya.
"Kan biar lo tidur, makanya tidur berdua. Biar lo makin nyenyak tidur sama gue." Jeka memainkan kedua alisnya naik-turun. Oh, tak lupa dengan seringai kecilnya yang muncul.
Dalam hati, Tama terkekeh geli melihatnya. Jeka sudah seperti biasanya. Namun, realitanya, Tama memandangnya tajam sebelum akhirnya mendaratkan tangan kurusnya untuk mencubit pipi Jeka.
"Gak akan!"
"Serius? Kita kan udah tidur bareng. Masa lupa, sih?"
Mata Tama melotot. "Kapan?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Loveliest | Jjk
Fanfiction"Lo ngarep gue cium, ya?" - Jeka. ••• Seumur hidupnya, Tama paling benci sama hal-hal yang berbau mistis. Kalau diajakin nonton setan, dia langsung ngegas nolak. Dan kalo diajakin main ke rumah hantu gitu, Tama pasti kabur duluan entah kemana ningga...