24

388 56 3
                                    

Sendok dan garpu yang dipegangnya sedikit bergetar karenanya sendiri. Mi yang siap untuk dimakan malah mengudara sedangkan dirinya sibuk menunduk dalam, nggak berani mendongak sama sekali.

Suasana lumayan ramai di warung kopi itu bukannya menyurut kegugupannya, malah makin menjadi. Sebab satu objek di depannya yang tidak mau dia lihat lagi, tengah menatapnya dengan dagu ditopang.

"Minya nanti dingin loh," celetuk Vano membuat Tama sedikit terperanjat dari duduknya. Vano tersenyum kecil. Merasa lucu melihat kegugupan yang melanda cewek itu.

Tama segera menghabiskan mi telor rasa soto yang hampir melar itu. Dalam suapan yang dua kali lipat lebih besar dari mulutnya. Menghabiskan seakan-akan Vano ingin merebut miliknya.

Kuah yang akan diseruputnya dari sendok hendak menyentuh bibirnya, namun Vano lebih dulu menarik sendok itu dan diletakkan ke mangkuk yang sudah habis isinya.

Tama tercengang. Tangannya masih mengudara dan tatapannya masih terpatri ke mangkuknya. Cukup tercengang dengan pergerakan Vano yang tiba-tiba sekali.

"Liat gue, Tama," titah Vano sambil melipat tangan di atas meja. Tatapan matanya terus terpanah ke kepala cewek itu yang merunduk. "Tam."

Cewek itu menghela napasnya berat. Dia tak bisa lagi menolak cowok itu. Bagaimanapun juga, dia ke sini bersama Vano. Meski... Tama sontak menggeleng cepat. Tidak mau mengingat kejadian sebelumnya yang begitu memalukan.

"Hei." Vano menyentuh dagu Tama dan mendongakkannya agar tatapan mereka bertemu. Susah payah Vano menahan senyumnya melihat wajah merah cewek itu.

"Kenapa?" Masih belum cukup menggoda Tama, dia makin bertanya dengan raut sok polosnya dan menopang dagu.

"Aku mau pulang." Tama terkejut mendengar ucapannya sendiri. Aku?! Matanya mengerjap dua kali dan merunduk. Merutuk dalam hati kenapa dia bisa keceplosan ngomong 'aku' pada Vano. Tama berdehem pelan dan menoleh ke samping. "Gue mau pulang."

"Sekarang?"

Tama menarik napasnya dalam dan menghelanya perlahan mendengar Vano yang pasti sedang menggodanya sekarang. Ia tidak perlu terpancing emosi karena itu, selain dirinya masih sangat malu.

"Yaudah gue pulang sendiri," tukasnya lalu beranjak dari tempat. Baru beberapa langkah dia melewati tempat mereka tadi, kening Tama mengernyit dirasanya cowok itu tidak menahannya sama sekali. Menoleh ke belakang, ternyata Vano juga menoleh padanya dengan menopang pipi dan senyum miring yang menyebalkan itu.

"Apa? Kenapa liatnya kayak gitu?" tanya Vano yang ditatapi tajam oleh Tama. Sekilas raut bingung sengajanya menghilang menjadi tatapan menyelidik. "Lo nunggu gue tahan biar gak pergi, ya?"

Sontak pipi cewek itu merah bukan main mendengarnya.

Vano maju beberapa langkah, sehingga jarak dua jengkal dan sedikit merunduk untuk menyamakan jarak wajah mereka. "Gue kira lo mau pulang beneran tanpa gue," bisiknya, tak lupa senyum miringnya itu.

"Aawww!" Vano meringis sambil memegang perutnya yang baru aja disikut sama Tama dan ditinggal pergi. Tapi mengingat raut terkejut Tama tadi, membuat ringisan itu berganti menjadi kekehan pelan. Mengingat dirinya masih di tempat umum.

Matanya tak lepas dari sosok Tama yang perlahan menjauhi warung kopi dekat sungai kecil tadi dan menghilang saat Tama sudah menuruni tangga. Ia menggeleng pelan. Benar-benar tak habis pikir dengan dirinya sendiri yang dapat berubah dengan cepat hanya karena Tama. Bahkan untuk menggoda cewek saja, ini yang pertama dan berhasil bikin Tama kesal.

Vano membayar makanan mereka terlebih dahulu sebelum menyusul Tama. Dan selama perjalanan, dia masih melihat cewek itu dari belakang. Ternyata belum jauh. Tangannya menyalip ke saku jaket. Berjalan santai, bibirnya masih menyungging senyuman manis sambil menikmati Tama yang terlihat menggerakan tangannya, protes.

Ghost Loveliest | JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang