10

530 64 0
                                    

Tas yang gue rangkul dari tadi, melesat turun, menyeret masuk ke dalam kamar dengan dengusan malas. Melemparkan ke sudut kamar dan bantingin badan ke atas kasur. Menatap langit kamar yang penuh oleh bintang-bintang kecil.

Gue hela napas berat. Mengerjap mata beberapa kali sebelum memiringkan tubuh ke sisi kiri. Memandang karpet tebel, bantal dan guling masih ada di sana. Yang biasanya Jeka jadiin tempat tidurannya.

Biasanya, dia bakal meluk guling itu sambil menghadap gue. Setiap pulang sekolah, gue pasti suka cerita sama Jeka apa yang gue alamin---walaupun dia selalu ngintilin gue ke mana-mana.

"Hari ini, akhirnya gue punya temen baru, Jeka. Namanya Nida. Dia orangnya ceriwis, gue suka. Jadi gak sepi-sepi amat. Tapi anehnya Nida langsung tau gue suka sama Hyunjin. Emang kentara banget, ya, gue suka Hyunjin? Padahal gue cuma liatin Hyunjin doang. Gak manggil, gak ikutin, gak senyam-senyum."

Mengulum bibir dalam-dalam, gue meremas selimut yang menutupi tubuh gue. Rasanya sakit. Jantung gue seakan-akan diremas oleh tangan yang tak kasat mata saat menceritakan kejadian di sekolah---entah pada siapa--- padahal Jeka sama sekali gak nampak di pandangan gue.

Gue narik napas dalam-dalam, menghelanya perlahan. "Terus Nida manggil Hyunjin dan lo tau apa? Dia duduk di samping gue dan kampretnya Nida ninggalin kita berdua di kantin. Sialan banget, kan, ya" lanjut gue, lirih.

Gue gak mau nangis walau suara gue udah berat. Bibir gue juga udah bergetar tiap ngomong. Gue macam orang gila, ya?

"Dan dia..." gue langsung nutupin muka gue pake selimut. Ngeluarin isak tangis dan air mata gue di dalamnya. Lemah. Gue lemah banget ditinggalin sama Jeka yang cuma sehari doang, entah deh besok dia ada apa nggak. Tapi, gue nyesek. Yang biasanya selalu gangguin gue dan dengerin gue curhat, menghilang gitu aja.

Gue gak tau semalam apa yang dia renungin sampe wajah, suara dan tingkahnya jadi berubah. Apa Jeka udah beneran gak ada, ya?

"Gue disini, kok, Tam," bisikan itu tepat diatas telinga gue. Diam, isak tangis gue tiba-tiba berhenti. Gue sama sekali gak ada niatan buat buka selimut ini karena gue tau, itu cuma halusinasi. Jeka mana mungkin muncul?

Bisikan di kelas aja, sosoknya gak ada. Apalagi di sini. Ha! Cemen banget, sih, lo, Tam.

Sepersekonnya gue salah persepsi. Selimut yang dari tadi gue tutupin tiba-tiba ditarik turun begitu pelan. Mata gue terbuka, lalu melotot setelahnya. Objek dihadapan gue ini... beneran?

"Kok nangis?" Dia tertawa kecil. Hidungnya mengerut lucu. Matanya menyipit. Dan suara lembutnya terdengar nyata di telinga gue. "Jangan nangis, dong."

"Ngapain ke sini?" tanya gue ketus, di sela-sela isakan gue. Pasti muka gue jelek banget; hidung merah, mata bengkak. "Pergi aja sana." Gue munggungin dia.

Tapi, Jeka udah di hadapan gue. Bibirnya yang mungil mengulas sebuah kurva lembut. Matanya memandang hangat. Ah, tatapan itu.

"Maaf," ucapnya, pelan. "Bikin lo nangis dan buat lo kangen sama gue."

Mata gue mendelik kesal. Gue langsung sentil jidatnya kencang. Itu sebagai luapan kekesalan gue. Sial banget ini hantu.

Jeka tiba-tiba menjawil hidung gue. Bikin dia tertawa kecil lihat dengusan gue.

Masih aja ini hantu!

"Jangan marah," katanya.

"Siapa juga yang marah."

"Tapi ngambek, kan?" Jeka nunjukkin seringai nyebelinnya liat pipi gue yang merona.

Udahlah ini, gak bisa lagi gue ngelak. Belum dijawab aja pipi gue udah merona duluan. Sial.

Ghost Loveliest | JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang