11

488 60 0
                                    

Hari kamis adalah hari yang paling membosankan bagi anak farmasi di SMK Pancasila. Pasalnya, kelas farmasi 1 dan farmasi 2 bakal digabungin untuk mata pelajaran simulasi apotik.

Tama mendesah keras, bosan. Menatap semua anak-anak farmasi yang sudah duduk di lab dengan kelompok yang dicampur bersama kelas sebelah, lalu memandang kelompoknya sendiri.

Tama bukannya tidak bisa. Hanya saja hari ini sungguh terlihat membosankan. Apalagi berkenalan dengan teman baru, Tama sungguh kaku.

"Jadi, siapa yang mau jadi asesi sama asesornya?" Pertanyaan itu Arsad ajukan melihat satu teman kelompoknya yang hanya diam saja. Sedangkan kelompok lain sudah berisik untuk praktek nanti.

Hasnah menunjuk Tama. "Tama jadi asesor, ya? Gue jadi asesi," katanya sambil mengambil tumpukan lembar kertas soal LSP tahun lalu untuk dijadikan contoh.

Mendengar namanya disebut, Tama mendesah pasrah. Ia juga mengambil kertas lain sebelum akhirnya perbincangan yang biasanya dilakukan pasien dan apoteker di mulai.

10 menit mereka berkomunikasi, akhirnya kelompok mereka sudah selesai. Tinggal mengobrol sampai bel pulang berbunyi.

Tama berdiri, mau ke toilet karena kebelet pipis dan keluar dari lab. Selesai dari toilet, Tama hampir kepeleset melihat sosok Jeka yang berdiri sambil bersandar dengan tangan melipat di atas dada.

Ia mendongak, kemudian mengulas senyum melihat Tama yang mendelik padanya.

"Kaget, tau!"

Jeka terkekeh pelan. "Bosen ya di lab?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh Tama.

Gadis itu mendekat. Mencuci tangan di wastafel lalu bersandar menghadap Jeka yang sudah menatapnya lurus. "Gue pengen pulang," rengeknya.

"Pengen tidur, terus meluk guling biar kane." Tama tersenyum lebar. Membayangkan kasur dan gulingnya sudah melambai meminta ditiduri.

"Tapi lo tetep jadi guling gue, sih. Dan itu yang bikin lo betah tidur di pelukan gue, Tam," celetuk Jeka mengundang delikan tajam cewek itu. Kedua alisnya menukik, bingung. "Am i wrong?"

Memilih mengabaikan ucapan hantu itu, Tama melengos sejenak dan berniat menuju laboratorium. Namun baru saja ia hendak memutar knop pintu, Jeka sudah mencegat pergerakannya sehingga tangan Tama melemas. Matanya melebar. Mulutnya sedikit terbuka. Dan, refleks ia menahan napas.

Jeka mendekapnya dari belakang.

Punggungnya bersandar pada dada Jeka. Aliran hangat mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Ya, Tama akui kalau dia juga nyaman dipeluk seperti ini.

Pucuk kepalanya merasakan dagu Jeka yang bersandar di sana. Dan itu membuat jantung Tama tiga kali lipat berdegup kencang. Apalagi hembusan napasnya terdengar di indranya.

"Jeka," lirihnya. Tama lemes. Serius.

"Hm?" Dagu cowok itu menurun di bahu kanannya, membuat ceruk leher Tama bergidik merasakannya.

"Gu-Gue mau ke lab." Tama berucap gugup. Melipat bibirnya ke dalam, gadis batinnya memaki dirinya karena kalau begitu, Jeka pasti akan mengira jika Tama menikmatinya.

Yaa, memang benar, sih.

"Oke."

Sempat merasa kecewa, sih, Tama begitu sepasang tangan cowok itu sudah tak melingkupinya. Namun, Tama memang harus kembali ke lab. Kalau tidak, bisa-bisa gurunya menyuruh kelompoknya untuk maju lagi.

Tanpa berani menoleh lagi, Tama bergegas dari sana. Ia tahu, meski Tama tidak menatap wajah Jeka lagi, hantu itu pasti akan mengikutinya dan duduk manis di samping Tama saat di lab, yang tentu saja hanya dirinya yang bisa melihat.

Ghost Loveliest | JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang