23

381 58 4
                                    

Cahaya matahari di sana walaupun begitu terik, tidak membuat kedua orang itu merasa panas. Hawa sejuk dari pegunungan malah bikin merasa tidak keberatan berjalan kaki menuruni jalanan dari villa ke sungai kecil dekat perkebunan yang Vano bilang tadi.

Tama menyisipkan tangannya ke saku jaket. Sembari melangkah di jalanan yang sepi, dia melirik Vano yang berjalan dengan tenang. Matanya menatap lurus ke depan, berbeda dengannya.

"Kita mau ke mana?" Tama bertanya, pelan. Dari sejak dia keluar dan Vano mengajaknya pergi, cowok itu nggak bilang akan kemana mereka kunjungi.

Vano terkekeh pelan. Dia menaikkan bahunya sekilas. "Gue juga nggak tau sih. Hehe. Tapi gue liat ada aliran sungai kecil gitu deket sini. Gue rasa duduk di sana enak," katanya lalu menoleh ke Tama yang terkejut dan buang muka.

Pipi Tama merona. Ketahuan ngeliatin Vano yang membuatnya jadi kikuk. Matanya jadi bergerak gelisah. Dia beneran gugup padahal Vano nggak bilang apa-apa sama sekali karena dia amatin.

"Lo kenapa, Tam?"

Langkah cewek itu mendadak berhenti saat ditanya kayak gitu sama Vano. Cowok itu ikut berhenti di depannya. Kedua alisnya terangkat, heran. Tapi melihat Tama yang tidak mau menatapnya dan pipinya yang merona, Vano makin keheranan.

"Lo sakit, ya? Pipi lo merah gitu--eh ke muka juga! Yaudah kita pulang--" tangan Vano tiba-tiba menggenggam milik Tama dan akan membawanya kembali ke villa. Tapi, Tama malah menahannya. Vano menatapnya dengan kening mengkerut.

Makin nggak ngerti ini cewek kenapa.

"Lanjut aja, lanjut." Tama langsung berjalan mendahuluinya setelah berucap demikian. Namun saat baru beberapa melangkah, dia mendadak berhenti. Menoleh ke belakang, dia menilik bingung Vano yang merunduk. "Kenapa?"

Keheranan Tama makin menjadi kala Vano tak kunjung menjawab. Cowok itu serius dengan tatapannya yang berpusat pada satu titik. Perlahan Tama merunduk. Ikut menatap ke satu titik dimana Vano terus menilik.

Napas Tama tercekat. Matanya membulat bukan main. Terlebih, seluruh wajahnya kini sudah merona hebat. Mulutnya terbuka, menganga tidak percaya sama apa yang dia lakukan sekarang. Buru-buru Tama menarik tangannya dari tangan Vano.

"Sori."

Setelah itu, Tama berjalan duluan. Benar-benar melangkah cepat demi menghindari mata Vano yang sama membulat--tapi nggak melotot banget. Rautnya jelas menampilkan jika dirinya bingung. Mengerjap dua kali, dia mendesis pelan. Kepalanya miring ke satu sisi. "Tadi itu...?"

Melihat Tama sudah menjauh sedikit darinya, Vano melangkah cepat. Mengejar. Vano meraih tangan Tama saat dirinya sudah mendekat. Menahannya, dia membalikkan tubuh Tama sehingga mereka bersitatap.

"Tama."

Refleks, napas cewek itu tertahan. Melihat iris hitam legam Vano yang menusuk matanya membuatnya tak berkutik.

"Coba lo genggam tangan gue lagi," kata Vano bikin jantung cewek itu makin berdegup cepat.

Tama menggeleng cepat. "Gak mau!"

"Sebentar aja."

"Gak ih!"

"Bentaran! Tadi aja lo megang kok sekarang gak mau?"

Tama kicep. Melihat tangan Vano hendak menyentuhnya, Tama langsung mundur selangkah. Matanya melotot ganas. Mencoba mengancam walau akhirnya Vano malah terkekeh melihatnya. Bukan takut.

"Kenapa sih mau megang tangan gue? Naksir?" Tama berucap sedikit ketus. Padahal, dalamnya dia udah deg-degan parah.

Ya gimana nggak deg-degan tiba-tiba ada cowok yang mau pegangan tangan tapi minta? Maksudnya, Vano minta pegangan dengan santainya tanpa tahu kalau jantung cewek itu lagi lomba marathon.

Ghost Loveliest | JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang