You Are My
J E N D E U K I E***
"Maaf kalau gue cuma bisa membalas segalanya dengan kata, maaf."
-kjn-***
Sehabis pulang sekolah, gue ingin memuaskan keinginan dari semalam untuk beli ice cream entah kenapa. Lantas itu sebelum sampai di rumah dan sebelum Jong In datang ke rumah, gue harus cepat beli ice cream nya.
Gue memutuskan untuk membelinya di toko seberang komplek rumah gue yang memang selalu ramai pembeli. Kumpulan anak kecil memang selalu lebih unggul dari remaja ataupun dewasa.
Sudah ada 3 antrian di sini, tapi tetap saja gue paling belakang karena baru sampai. Dengan sabar gue berdiri di sini untuk beberapa menit, namun gue gak maju dari tadi di sini.
Setelah gue lihat, yang benar saja di depan ada seorang cowok pake jas yang beli banyak banget ice cream. Di sana terlihat berbagai macam ice cream ia beli. Sudah 15 menit orang itu berdiri memesan ice cream. Karena nya gue gak maju-maju dari tadi.
Cowok itu selesai, gue bahagia sesaat sebelum melihat wajahnya. Jong In, dia ngapain ke sini coba? Hah? Mau beliin gue? Bukannya dia sendiri yang ngelarang gue untuk jajan di luar?
Gue mengumpat dari nya sebelum ia datang dan melihat gue di sini. Keinginan ice cream gue harus ditunda terlebih dahulu. Melihat Jong In memcurigakan, gue ngebuntutin dia dari belakang dengan sesekali mengumpat.
Jong In gak langsung masuk ke mobil, ia masih di dalam toko ice cream ini, tapi bukan untuk duduk dan memakan apa yang ia beli, tetapi mengambil sekuntung bunga mawar putih yang dijual oleh pihak toko ini. Ia kembali ke arah kasir dan membayar untuk bunga itu, serta menulis entah apa di atas kertas kecil yang lalu dimasukkan ke dalam plastik bunga.
Gue curiga kepada siapa bunga dan ice cream itu dia kasih. Tentunya bukan gue, karena jelas sekali kalau ia ngelarang. Jong In keluar dari toko, gue pun mengikutinya diam-diam dari belakang. Gue berjongkok karena menunggunya lama menerima panggilan.
Tiba-tiba Jong In datang ke arah gue. Gue takut, dan menutup wajah gue dengan kedua tangan.
Namun dari tadi gue gak menerima tindakan apapun. Gue memberanikan diri untuk mengintip sedikit dari sela jari. Gue malah menangkap Jong In sedang memukuli remaja dengan seragam sekolahnya.
Gue beranjak dan berusaha memisahkan Jong In, "JONG IN! LEPASIN, DIA SALAH APA?! UDAH JANGAN BUAT MALU DIRI LO SENDIRI DI SINI."
Jong In semakin menjadi, bukan itu jawaban yang gue inginkan. Gue menariknya kuat untuk pergi dari sini, "Ayo pergi!"
Untungnya Jong In menurut walaupun masih dalam keadaan marah dengan muka sangarnya.
"Lo kenapa sih? Tiba-tiba mukulin anak orang, dia salah apa sampai lo nyiksa dia kayak gitu? Hah?"
"Dia salah Jennie. Dia sudah salah besar untuk melakukan tindakan kurang ajar itu, anak itu sudah melewati batas terlalu jauh. Sudahlah jangan dilanjutkan, nanti malah saya akan merasa menyesal karena berhenti memukulinya."
"Sumpah lo kejam."
Gue berhenti di depan mobil Jong In, membiarkannya masuk ke mobil, "Kenapa kamu gak masuk?" Tanya Jong In yang keluar dari mobil mengetahui gue gak ada di mobilnya.
"Lah kan emang dari tadi lo sendirian di mobil? Gue mau pulang, capek."
"Ya udah, tujuan kita sama. Cepat masuk atau kamu saya paksa masuk," Jong In membuka pintu mobil dan masuk.
Setelah sudah berada di dalam mobil Jong In, gue masih memandangi wajah Jong In yang sembari tadi belum padam. Pandangan sinisnya masih saja beluk berubah. Dia menghela napas kasar dan mengendarai mobilnya sampai di rumah gue.
"Ayo masuk," ajak gue karena ada yang harus disampaikan ke Jong In.
"Kamu duluan."
Melihatnya yang gak mau pindah ke dalam, membuat gue juga harus duduk dan menyampaikannya di sini. Gue memandanginya sayu karena kondisinya belum berubah, masih terlihat marah.
"Lo kenapa sih? Dari tadi marah mulu, capek gue ngelihatnya."
"Enggak, gak ada apa-apa kok," ia mengalihkan pandangannya ke arah ponsel.
"Jong In! Lihat gue!"
Jong In menoleh, "Saya bilang gakpapa."
"Gue gak nanya kondisi lo gimana, gue nanya lo tadi kenapa mukulin anak orang yang gak bersalah gitu? Lo tahu kan itu kejam? Sampai separah itu loh, mukanya tadi lebam."
Jong In menatap gue tajam setelah mendengar kritikan gue atas tindakannya tadi.
"Saya sudah bilang, dia terlalu kelewatan, Jennie. Saya akui kalau saya memang salah, saya salah karena gak melanjutkan tindakan yang kamu sebut 'kejam' itu," jelas Jong In yang hanya membuat gue bertambah heran dengan responnya, ia seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Memang apa yang dia lakuin?"
Jong In terdiam.
"Jong In! Jawab gue!"
Ia memalingkan wajahnya. Gue menghampirinya untuk memaksanya menjawab pertanyaan gue.
"Dia ngelakuin apa?!"
Jong In menoleh ke hadapan depannya menatap gue seperti kebingungan harus menjawab apa, "Jawab!"
"Sudahlah, hal itu gak penting dibicarakan lagi, yang terjadi biarlah terjadi. Sekarang kamu lupain aja apa yang sudah saya perbuat tadi. Percayalah, pukulan-pukulan yang orang itu terima sudah setara dengan apa yang dia lakuin ke kamu," tutur Jong In.
Jawaban darinya malah membuat gue bertambah kesal. Dari tadi gue nanya, tapi jawaban dari Jong In selalu sama. Gue memegang pundak Jong In di kedua sisi.
"Jawab, orang itu tadi kenapa?"
Jong In mengerjap, mungkin kaget dengan perlakuan gue saat ini. Hal ini gue lakukan karena rasa ingin tahu gue akan kejadian itu sudah terngiang-ngiang di kepala gue sejak tadi.
"Kalau saya jawab, kamu pasti akan mikirin itu terus, saya gak mau."
"Enggak, Jong In. Gue janji."
"Ya sudah, kamu kembali duduk dulu sana," gue melepas pegangan dari pundaknya dan kembali menyandarkan pinggang gue ke kursi.
"Saat itu saya gak sengaja ngelihat orang itu, saya heran kenapa dia mengarahkan kamera ponselnya ke bagian bawah, sedangkan di hadapannya hanya ada perempuan. Jadi saya samperin orang itu, mata saya menangkap dia lagi merekam dengan objek tubuh bagian belakang perempuan itu saat itu kamu juga lagi jongkok kan? Jadi sebelum saya tahu kalau itu kamu, saya sudah merampas ponselnya untuk menasehatinya, tapi setelah saya lihat wajah kamu, tangan saya sudah mengepal."
Tatapan gue sayu sambil melihat Jong In menjelaskan ketika tahu apa yang sebenarnya orang itu lakukan sampai Jong In memukulinya sampai lebam.
Gue mengacak rambut gue frustasi, rasanya malu, kesel, dan pengen nangis saat ini juga setelah tau yang sebenarnya. Pandangan gue ke arah bawah, dan merenungkan kembali kejadian itu.
Sebuah tangan dengan lembut memeluk gue dari arah depan, dia mengelus-ngelus rambut gue yang kala tadi berantakan. Siapa lagi orang yang melakukan ini kalau bukan dia, Jong In.
Pelukannya begitu hangat, sehingga membuat gue terdiam nyaman, "Jangan pikirkan itu lagi, itu sudah terjadi, gak ada yang bisa diubah."
Gue menangis. Bukan karena kejadian itu, melainkan teringat dengan larangan Jong In yang mengatakan kalau gue gak boleh memakai pakaian yang pendek. Perkataannya selama ini selalu gue abaikan dan menganggap itu semua cuma untuk kesenangannya saja. Tapi kenyataannya, larangan Jong In yang berkali-kali telah gue langgar ternyata memang gak seharusnya gue langgar. Dan sekarang? Semua akibatnya sudah terjadi.
Gue membalas pelukan Jong In, "Maaf."
|be continued|
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Jendeukie - JENKAI
Teen Fiction[ON GOING] Berada dalam perjodohan dengan seseorang yang bahkan tidak ia kenal, memaksa seorang Jennie untuk menghadapi beban yang tidak ia duga akan menghujami dirinya. Impian yang tinggi sayangnya berbanding terbalik dengan realitanya. 11st July