[I] - Third Rain -

1.2K 182 53
                                    

A/N: Terlalu hectic dengan tugas sekolah karena aku sedang menghadapi ujian tengah semester, ahahaha, maaf yaaa. Sebagai gantinya bab super panjang yang akan dipisah menjadi dua bagian.

Selamat membaca, dan semoga hari kalian menyenangkan~

---

(Lima tahun kemudian)

Semua murid sudah pulang, kecuali aku dengan satu orang yang duduk di depan kelas. Di luar sangat gelap. Hujan turun dengan sangat deras, kami terperangkap di sini. Lampu-lampu kelas yang menyala sangat terang membuat mataku agak perih. Kelas itu tidak terlalu dingin. Aku hanya duduk di tempat dudukku, paling pojok belakang di mana tidak ada jendela ataupun pintu.

Kupeluk erat cardigan biru tua lusuhku. Tas selempang bekas ibuku sudah kutaruh di pundak, tetapi aku masih belum berani berdiri. Kutatap rok hitam selututku beberapa saat, lalu kutatap murid yang ada di depan. Laki-laki itu... laki-laki yang kusukai sejak masuk SMP, sampai SMA ini. Rambutnya yang pirang selalu ia sisir rapih. Kulitnya terang, matanya berwarna kecokelatan. Kacamatanya yang tebal membuatku makin terpesona… yah, begitulah seleraku saat ini.

Mungkin sekarang waktu yang tepat. Aku berdiri dengan perlahan, mendorong kursiku ke dalam meja. Kudekati ia dengan langkah-langkah kecil. Kugenggam erat tali tas selempangku, gugup.

"Den—"

"Apa?" Ia, Dennis, menatapku tajam. Aku meneguk ludahku. Dia memang dingin kepada semua orang. Agak menyakitkan, tetapi... aku sudah terlanjur suka dengannya. Aku menundukkan kepalaku, wajahku sudah memerah.

"Aku...." Aku mendadak menggeleng-gelengkan kepalaku. Ah, aku tidak berani berbicara dengannya!

Dennis menghela napasnya panjang.

"Apa aku sudah pernah bilang kalau aku sangat membenci tatapanmu?" tanyanya pelan.

Aku menggelengkan kepalaku perlahan. "Kau... tidak pernah," ucapku lirih.

"Aku sangat membencinya. Kau selalu menatapku dengan tatapanmu itu. Baik di kelas, kantin, atau di manapun. Mengerti apa maksudku?" Ia ambil tas ransel cokelat yang sedari tadi ada di sebelah mejanya.

"Aku duluan," ujarnya seraya menatapku tajam. Aku agak bergeser, membiarkan dirinya lewat. Ia menatapku sinis. "... Menyebalkan," ujarnya pelan, sepertinya itu gumaman yang tak sengaja kudengar. Ia membuka pintu kayu kelas lalu membantingnya keras-keras. Aku masih membeku di sana, menatap kursi Dennis. Aku tersenyum kecil, berusaha untuk menghibur diriku sendiri.

"Tidak ada apa-apa, Erlyn.... Tidak ada apa-apa," bisikku. Aku langsung saja duduk lemas di atas kursi Dennis. Secara tak sadar air mataku turun. Kukepalkan kedua tanganku erat-erat dan kutaruh di atas kedua lututku. Petir menyambar, menyembunyikan suara isakan tangisku. Aku menyukainya dari dulu, aku mengaguminya dari dulu! Tapi ternyata.... Aku menggigit bagian bawah bibirku.

"Aku sangat membencinya." Perkataannya itu terus terulang-ulang di kepalaku, menusuk hatiku.

"Erlyn, kau kuat," bisikku sambil tersenyum. "Apa kau menangis hanya karena ada anak laki-laki yang menolakmu?" Tanganku bergetar. Air mataku malah turun lebih deras, sama seperti hujan di luar. Aku menyeka air mataku berkali-kali, tetapi tidak kering-kering juga. Kuperhatikan hujan melalui jendela kelas.

Petrichor | Versi Revisi [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang