- Sixth Rain -

847 137 5
                                    

Jujur, aku yakin hari ini akan menjadi hari yang buruk.

Aku menyisir rambutku dengan jari tangan, kasar seperti biasa. Rasanya mataku sangat perih, entah karena akhir-akhir ini aku sering menangis atau aku kurang tidur. Aku menghela napas dalam-dalam, menahannya, lalu mengeluarkannya.

Mungkin suasana di rumah tidak semengerikan dulu Karena ibu telah pergi, tetapi sekarng segalanya makin mencekam Karena ayah.

Aku menutup wajahku dengan bantal. Aku terlalu banyak pikiran sepertinya, aku butuh sesuatu yang menenangkan hati. Seperti...

... Gash?

Aku meneguk ludahku. Kupukul kepalaku berkali-kali. Ini sangat menyebalkan! Kenapa aku memikirkannya di saat aku mulai membuka diri untuk orang lain? Aku ingin menangis, tetapi sepertinya air mataku sudah habis. Kutatap boneka panda yang ada di sebelahku. Boneka kecil, manis, lucu, tersenyum ke arahku. Kupeluk boneka itu, boneka pemberian Valt beberapa hari yang lalu.

Ah iya, padahal aku masih belum menjawab pertanyaan itu…. Sampai sekarang, aku masih temannya.

Rasanya hatiku sangat tidak nyaman pagi ini. Aku belum mandi, belum sarapan, belum apa-apa. Aku bahkan hanya mengenakan celana dalam dan kaus lusuh yang sudah kekecilan.

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Langsung kututup tubuhku dengan selimut. Ayah, Ayah menatapku sambil tersenyum.

"Bicara denganku beberapa menit lagi. Ayah tunggu di ruang makan!"

Pintu langsung ia banting. Saking kerasnya, pintu itu tidak tertutup.

"A-ah...." Mulutku terbuka. Jujur, sekilas aku bahagia melihat wajah Ayah tersenyum tadi. Namun... pastinya Ayah tersenyum akan suatu hal yang buruk.

Aku langsung menanggalkan pakaianku, lalu mengenakan kaus v-neck merah jambu yang terasa agak ketat dan celana jeans yang kepanjangan. Sepertinya aku akan mandi setelah bicara dengan Ayah.

Sebelum memasuki ruang makan, aku mengintip di balik dinding. Ayah terlihat sangat senang. Ia tengah membaca koran. Kopi hitam terletak di hadapannya. Aku melangkah pelan ke arahnya, kemudian duduk di sebelahnya.

"Kau tahu apa?" tanya Ayah tanpa perlu melihatku. Aku menggelengkan kepalaku pelan. Jantungku berdegup dengan cepat. Mataku memperhatikan Ayah dengan penuh awas, takut kalau tiba-tiba Ayah melayangkan tinjunya ke arahku.

"Ma-maksud Ayah?"

"Bagaimana sekolahmu?"

Aku memandangnya kaget. Jujur, aku tercengang mendengar pertanyaan Ayah.

"Be-begitulah sekolah, haha." Aku hanya bisa tertawa canggung. Senyum Ayah melebar, tetapi pandangannya tetap ke apa yang ia baca.

"Tidak enak, ya?"

Aku terdiam sebentar. Apa sebenarnya ayah tahu kondisiku di luar sana? Kukira ia tidak perhatian sama sekali. "Iya...."

"Kau tidak usah sekolah saja kalau begini...."

"Ma-maksud Ayah?!" pekikku kaget.

Anehnya, ayah tertawa. "Lupakan. Erlyn sayang Ayah?"

Aku mengepalkan kedua tanganku. "Ah, tentu aku sa-sayang Ayah!" ucapku seraya tersenyum paksa.

Petrichor | Versi Revisi [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang