[II] - Third Rain -

1.1K 169 51
                                    

Aku mengedipkan mataku beberapa kali. "A-apa!?"

Wanita itu tersenyum tipis. "Seingatku begitu."

"Apa mereka berdua tak mengapa?" Gash mengerikan juga ternyata.

"Ah, entahlah," ucapnya sambil tersenyum. “Toh, dia bilang dia memang sudah punya urusan dengan mereka sejak beberapa tahun yang lalu. Terutama yang berkacamata itu.”

Aku merasa agak bersalah ke mereka berdua sekarang. "Kak Gash... seram," bisikku. Elle tertawa.

"Ah, dia hanya anak yang tertutup.... Aku tak tahu banyak juga tentangnya, walaupun aku sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Namun akhir-akhir ini ia mengoceh tentang segerombol orang yang mengganggunya, dan kawan-kawannya. Entah apa itu,” terangnya. “Maaf, waktu istirahatku habis. Aku bekerja lagi dulu ya, dah Erlyn!" Ia dengan cepat beranjak dan segera melangkah pergi. Aku minum cokelat hangatku hingga habis lalu kuhapus bekasnya yang tersisa di mulutku. Aku harus pulang. Aku tak ingin hal-hal jelek terjadi padaku nanti.

Aku berdiri dan memasukkan kursi ke dalam meja. Kuperlebar langkahku keluar café. Tak lupa kuambil payungku.

Suara langkahku terus terdengar bersama rintik-rintik hujan. Hanya gerimis, tetapi kian deras tiap detiknya. Menyadarinya, aku berlari dengan langkah lebar.

"Aku akan baik-baik saja, aku akan baik-baik saja," bisikku.

Dapat kurasakan air dingin mengalir di bagian kakiku. Sepatu boot hitam yang dulunya milik ayahku ternyata memang sangat tidak nyaman. Aku terus berjalan di atas trotoar. Aku peluk tasku lebih erat. Rumah masih jauh...

"Hatchim!" Aku langsung menututup mulutku. Sepertinya aku dapat bonus hari ini, flu. Kutengok jalanan, sepi seperti biasa. Harusnya anak-anak ataupun orang dewasa sudah tidur di waktu ini, harusnya. Jalanan yang hitam terlihat sudah sangat basah, genangan air yang diciptakan oleh hujan memantulkan cahaya lampu-lampu jalan. Hujan di malam hari selalu berhasil membuatku menggigil.

"Yoo!" Teriakan itu terdengar dari belakang. Aku melirik ke sumber suara, berusaha untuk tidak menoleh. Kubuka mataku selebar mungkin. Ada tiga sosok pemuda. Gaya berjalannya sangat tidak jelas, penampilannya berantakan. Salah satu dari mereka ada yang terus cegukan. Mereka terlihat seperti... orang aneh.

"Hei, hei.... Apa itu perempuan?" tanya salah satunya. Sebuah seringai terpampang jelas di wajah merahnya, diikuti oleh kedua temannya. Melihatnya, kupercepat langkahku. Aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan orang-orang seperti mereka. Aku menoleh ke belakang, mereka masih mengikutiku. Tuggu, dilihat dari ciri-cirinya… apakah mereka mabuk?

"Nona, jangan lari!" teriak salah satunya. Suaranya sangat keras, bisa jadi satu komplek perumahan bisa mendengar teriakannya. Sayang sekali hanya beberapa orang yang tinggal di sini. Tidak akan ada yang membantuku, aku sudah paham betul lingkungan ini.

Jantungku berdegup kencang dan keras, napasku sudah mulai tidak beraturan. Jujur, aku belum pernah menghadapi situasi seperti ini. Keringat dinginku bercampur dengan air hujan yang dingin pula. Tuhan, bantu aku....

Aku tidak tahan lagi. Dengan cerobohnya, aku mulai berlari. Aku gigit bagian bawah bibirku, setetes air mata menuruni pipiku. Aku harus menyelamatkan diriku sendiri sekarang, atau tidak sama sekali.

"Hei, hei, HEI!" Mereka ikut berlari, aku tahu dari suara langkah kaki mereka. Cipratan air, deru napas, dan hentakan kaki. Aku benar-benar ingin hilang sekarang.

Petrichor | Versi Revisi [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang