- Tenth Rain -

666 88 23
                                    

Entah bagaimana, mimpiku sekarang penuh dengan bayangan pria berdarah-darah dan wanita yang menatapku sendu. Tiap aku terjaga, bayangan itu sering sekali melintas. Aku selalu mengingat Gash untuk melakukannya, tetapi... sia-sia saja. Yang membuatku bingung, rasanya aku pernah mengalami ini sebelumnya. Sebelum aku membunuh pria itu dan sebelum Elle memergokiku.

Ayah dan ibuku.

Mengingat fakta bahwa ayahku akan dibunuh membuatku bimbang antara ingin merasa senang atau sedih. Maksudku, kau tahu ayahku? Apakah wajar aku sebagai anaknya melupakan ayah satu-satunya? Atau aku harus bertindak? Belum lagi aku terus teringat semburat senyum kejam yang sekilas mengingatkanku akan senyum ibu. Bedanya, senyum ibu terkesan mengerikan.

Mendadak sesuatu yang lembut menghantamku dari belakang. "Hei, napasmu keras sekali! Aku jadi susah tidur, tahu!" Sosok di belakangku terkekeh.

"A-ah, maaf, Dash...." Aku memperbaiki selimutku, lalu menghadap ke sebelah kiri agar tidak bertemu dengan wajah Dash. Kemarin malam ternyata aku tidur di kamar Tom, jadi tidak mengherankan tempatnya bersih dan rapi sekali. Karena aku tidak enak dengan Tom (malam itu dia tidur di sofa), aku memilih untuk tidur sekamar saja dengan Dash. Aku tidak keberatan dengan kondisi kamarnya. Lagi pula, kelihatannya Dash senang sekali menyambutku.

Namun ternyata Dash belum tidur-tidur juga. Padahal aku sudah tertidur dan terbangun berkali-kali. Aku tidak tahu jam berapa sekarang. Lampu kamar dimatikan olehnya, dan tidak ada sumber cahaya sama sekali. Sia-sia tirai jendela kamar ini kubuka sebelum tidur. Di luar, awan hitam menutup langit yang sudah cukup gelap.

"Dash, kau belum tidur lagi?" tanyaku pelan, nyaris berbisik.

"Aku terlalu bersemangat untuk tidur saat ini," jawabnya tak kalah pelan. Mendengarnya, aku membalikkan badanku, dan aku nyaris berteriak melihat wajah horor yang Dash berikan padaku. Seringai yang ia pasang seakan-akan dapat merobek kulit dan dagingku.

"Kau kenapa?!" tanyaku, agak histeris.

Dash sedikit memendekkan senyumnya. "Sudah kubilang, aku terlalu bersemangat untuk tidur saat ini."

Aku mengembuskan napas berat. Kubenamkan kepalaku ke dalam selimut. "Pasti menyenangkan," bisikku pelan.

"Nope," katanya singkat. "Karena itu aku senang kau menemaniku malam ini!"

Aku tertawa lirih. Kesepian, ya? "Apa kau begini juga bersama Kak Elle?"

Gadis itu terdiam. "Dia... sulit untuk dibangunkan," jawabnya suram. "Aku hanya dapat memeluknya diam-diam."

Seketika badanku merinding. Bayangkan wanita terhormat seperti Elle terbangun dengan tubuh digerayangi tangan seorang gadis yang lebih terlihat seperti laki-laki. "Sungguhan?"

Dash mengangguk. "Kenapa tiba-tiba kau menanyakan tante-tante itu?"

Aku menggelengkan kepala. "Ada sesuatu yang mengganjal." Aku tersenyum. Dash malah menatapku curiga.

"Kau bertemu dengannya di café tadi, ya?"

"Semacam itulah. Kelihatannya dia sedih sekali mengetahui kita pergi tanpa pamit." Kalau kuingat-ingat, tatapannya saat itu benar-benar menyiratkan rasa pedih di hatinya. "Aku merasa bersalah, Dash."

Petrichor | Versi Revisi [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang