"Sampai jumpa... Gash."
Aku memejamkan mata, berharap ini semua cepat berakhir dan tidak terasa menyakitkan. Ujung senapan sudah kuarahkan ke arah dahiku. Namun sesaat sebelum aku menarik pelatuk, sebuah tamparan menghempas kedua lenganku, melepaskan satu-satunya harapan yang kugenggam.
"... Kenapa?"
Suara itu terdengar serak, terdengar... penuh dengan... entah, kehampaan?
Aku tetap memejamkan mataku, menutup wajahku dengan kedua tangan. Perlahan tubuhku melemas, bulir hujan terus menembus pakaian yang kukenakan. Napasku perlahan tersenggal.
"Maafkan aku," kilahku, pelan. Aku... aku takut. Aku gagal. Aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Seharusnya aku sudah mati, seharusnya tubuhku sudah terjengkang dan jatuh dari atap gedung tinggi ini. Seharusnya aku sudah tidak ada. Jantungku... seharusnya–
"Apakah ini karena Tom?"
Sontak aku mendongak. "Ti-tidak! Aku... aku sendiri yang berpikir bahwa–"
Gash menatapku lesu, kedua alisnya bertautan. Seakan-akan ia tengah melihat ampas yang sudah seharusnya larut dengan genangan hujan.
Mendadak saja aku tersenyum ke arahnya. "Aku... tidak pantas, ya?" tanyaku, pelan... lelah. Entah dorongan dari mana, tetapi aku tersenyum... benar-benar tersenyum. Dapat kurasakan air mataku basah bukan karena hujan. "Seharusnya... seharusnya aku...."
Gash berlutut di hadapanku. "Ayo kita pergi," bisiknya, "berdiam di sini tidak akan membantumu sama sekali."
Aku berusaha menarik napas panjang, tetapi sia-sia. Rasanya seluruh bagian tubuhku bergetar tak terkendali. Aku ingin membantah, tetapi perlahan energiku terus berkurang. Mendadak tubuhku sudah terangkat, Gash menggendongku dan mendekapkan kepalaku ke dadanya, membagikan hangat tubuhnya dengan paksa.
"Sudah, jangan pikirkan apapun," ucapnya, "... dengarkan saja suaraku sementara kau mengatur napasmu."
Aku terbatuk. "Seharusnya... aku sudah mati untukmu."
Ia mengembuskan napas berat. Lama rasanya mendengar ia menjawab pernyataanku itu. Sesaat kami sudah berada di dalam ruangan, ia terus berjalan menuruni tangga. Suara sepatunya bergema, dan aroma Gash dan hujan memenuhi paru-paruku.
"... Aku tidak ingin kau mati... untukku," jawabnya, "kau membuatku merasa bersalah."
"Maaf."
"Namun aku patut merasakan hal itu. Bertahun-tahun aku memperhatikanmu, lingkunganmu, semua karena satu hal."
Ia menghentikan langkahnya, menelengkan kepalaku dengan lengannya, membuat mataku bersitatap dengan satu-satunya mata yang ia miliki.
"Seharusnya aku yang minta maaf," ujarnya, lemah. "Kau tidak tahu apa yang kupikirkan saat aku. Maafkan aku."
Aku mengernyitkan dahi. "Apa...?"
"... Ayo kita pulang."
---
Terakhir yang kuingat, Gash menggendongku hingga lantai dasar, kemudian kami menaiki sebuah bis. Aku tidak tahu ke mana kita akan pergi, ia diam saja selama perjalanan. Ia... bahkan tidak menatapku sama sekali.
Aku terbangun dalam dengan pemandangan jendela bis yang dipenuhi embun. Entah pukul berapa saat itu. Gash tertidur di sampingku. Langit sudah gelap, dan tidak banyak orang yang ada di dalam kendaraan ini. Aku mengguncang tubuhnya. Baru kusentuh lengannya, dapat kulihat badannya sudah menegang. Ia menoleh ke jendela.
"Ah, cepat juga," ucapnya.
"Sebenarnya kita mau ke mana?"
Seulas senyum terajut pada wajahnya yang kini pucat. Ia menatapku sendu. "Kau akan lihat nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor | Versi Revisi [tamat]
Mystery / ThrillerDi seberang sana ada seorang pemuda. Pemuda buta dengan bekas luka sayatan di telapak tangannya. Ia selalu muncul saat hujan, menikmati dirinya diterpa bulir-bulir air. Aku hanyalah seorang perempuan kecil yang dijauhi oleh semua orang, termasuk kel...