- Last Rain -

562 86 27
                                    

Selamat berbuka bagi yang melaksanakan puasa dan yang di daerah Jakarta + sekitarnya~

Nah, selamat membaca!

---

"Dia tidak membunuhmu?"

Aku menoleh ke belakang, lagi-lagi berpandangan dengan Dash. Ah, siapa diriku yang senang sekali melamun di kamar tidurnya? Seakan-akan aku ini penunggunya saja.

"Dia tidak membunuhku," bisikku. Dash bergeming.

"Bukan," ujarnya. "Dia belum membunuhmu."

Aku merengut, memojokkan diriku di kasur. "Jangan katakan itu...."

"Kau tadi bertemu dengannya?" Dash mengunci pintu kamarnya. "Maaf, aku tidak ingin seseorang mendadak masuk ke percakapan ini."

"Mengapa dia ingin membunuhku?" tanyaku. Telunjukku menjalar ke bibirku. "Dia baru saja melakukan sesuatu terhadapku...."

Dash mengernyitkan dahi. "Lama-lama aku jijik dengannya," katanya. "Apa sebenarnya yang dia lakukan terhadapmu?"

"Cium." Kukatakan itu dengan suara sekecil mungkin.

Aku dapat melihat Dash menahan tawanya. Ia bahkan menggigit bibirnya.

"Benar-benar, orang itu...." Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Keparat. Bagaimana kabar pacarmu setelah mengetahuinya?"

“Dia bukan pacarku, dia hanya teman baikku… yang menganggapku sebagai pacar.” Aku menghela napas perlahan. Ah, mengapa rasanya jantungku mendadak tertusuk oleh oksigen yang kuhirup? Ini semua melelahkan. "Aku tidak akan bisa memberitahukannya, Dash."

Kututup wajahku. Bukan karena malu, bukan karena kecewa... aku hanya ingin wajahku segera terhapus dari dunia ini, dan tak akan ada yang pernah melihatku lagi. Aku tidak tahu ini rasa bersalah atau rasa takut. Tanganku bergetar hebat. Apa yang harus kulakukan agar semuanya kembali normal? Bukan di saat-saat aku satu rumah dengan orang tuaku, dan bukan di saat-saat Gash terlihat mengerikan.... Tidak bisakah aku kembali ke waktu di mana Gash berbincang-bincang denganku, dan mentraktirku secangkir cokelat panas di Seele Café?

Sebuah sentuhan hangat terasa di pundakku. Aku segera mendongak. Pandanganku yang buram terhalang air mata menangkap segaris senyuman di wajah perempuan berambut cokelat kemerahan itu.

"Seharusnya kita berharap agar hal itu tidak terjadi," ucapnya. "Come on, sebelum waktumu benar-benar habis. Sepertinya kau belum memberitahukanku sesuatu." Ia tertawa. Mengapa ia dapat tertawa pada waktu yang tidak tepat?

"Aku tidak tahu dia benar-benar melakukan itu," ujarku lirih. "Kau tahu apa maksudku?"

Dash tertawa canggung seraya menggaruk-garuk belakang lehernya. "Mana aku tahu? Kau belum memberitahuku."

Aku memalingkan wajahku. "Dia benar-benar suka membunuh makhluk hidup ya?"

Hening seketika. Apakah kalimat itu membuat Dash terpukul? Tidak mungkin. Dia tahu kakaknya memang bermasalah... dan aku yang bodoh baru menyadarinya. Aku benar-benar berbakat menciptakan suasana canggung.

Aku menelengkan kepalaku lelah, kemudian menutup kedua mataku rapat-rapat. Dapat kurasakan hawa dingin ruangan Dash, mungkin karena hujan deras tadi. Aku juga baru saja membilas tubuhku, tetapi... aku merasa jauh lebih menjijikkan dari sebelumnya.

Petrichor | Versi Revisi [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang