(4) Pemeran

936 218 62
                                    

Hanbin memperhatikan seisi rumah, sudah tiga hari Yerin tidak pulang sejak idenya untuk saling mencintai oranglain. Bodo amat saja sih menurut Hanbin, yang dikhawatirkan hanyalah Yerin mengadu kepada orangtuanya.

Ketika merebahkan dirinya di atas sofa nyaman, Hanbin memejamkan matanya dan mulai bermonolog.

"Gak! Harusnya gak gini, gue sengaja beli rumah ini buat hidup bahagia bareng anak dan istri. Nggak kaya gini, gak serumah sama anak kuliahan macam dia."

"Kenapa Jenny baru datang sekarang?"

Monolognya tak cukup sampai disitu, semuanya dia bahas. Mulai dari tidak bisa membantah orangtua hingga tidak mengerti mengapa harus Yerin yang umurnya jauh lebih muda.

Handphonenya berbunyi.

JennyRivanza: Hanbin, ada waktu?
Hanbindika: Jelas ada, apa yg ngga buat lo, sih?
JennyRivanza: Gombal lo. Posisi dimana sekarang?
Hanbindika: Di rumah
JennyRivanza: Oke gue meluncur
Hanbindika: emang tau rumah gue dimana?
JennyRivanza: jangan pernah percaya sama mulut embernya kudanil, Bin.

Tanpa disadari, Hanbin mengguratkan senyum di wajahnya. Sepertinya memang benar bahwa kebahagiaan Hanbin hanya ada pada Jenny.

"Bodo amat gue disebut rendahan yang penting gue bahagia waktu jalaninnya." gumam Hanbin.

Benar saja, beberapa menit kemudian Jenny datang dengan gaya pakaiannya yang khas. Sang tuan rumah mempersilahkannya masuk.

"Sore, cant-"

Hanbin mematung sebentar sebelum membalas ciuman singkat dari Jenny.

"Gue masih sayang lo, Bin."

"Gue pake banget."

Keduanya saling bertemu, seolah berperan sebagai penenang. Candu yang kembali ditemukan. Cukup lama keduanya hanyut dalam balutan gairah hingga saling bercumbu.

Keduanya melepas ketika mendengar suara pintu terbuka. Yerin yang melihat keduanya sedang berpelukan hanya bisa termangu, memperhatikan wajah kaget keduanya.

Langkahnya gusar menuju ke dalam kamar, mengambil dompet lalu pergi tidak memperdulikan dua makhluk yang masih tidak percaya dengan kehadirannya.

"S-siapa?" tanya Jenny.

"Oh itu, adik—sepupu."

— Imagination —

Yerin melepas sepatunya, menyimpan dengan rapi lalu beranjak menuju kamarnya yang kini sudah berpisah dengan Hanbin. Letaknya sama di lantai dua, setidaknya mereka tidak satu kamar—pikir Hanbin.

Ketika menaiki tangga, Yerin di kejutkan dengan kehadiran Hanbin yang melipatkan kedua tangannya di dada.

"Omongan saya gak main-main," kata Hanbin.

"Memang aku bilang main-main? Ngga."

Terkadang, Hanbin yang terlihat dingin justru merasa kikuk ketika berbicara dengan Yerin. Perkataan mahasiswi itu seolah menusuk.

"Palingan bentar lagi kamu juga begitu."

"Siapa bilang? Masnya bukan Tuhan, jangan ngomong seolah-olah tau segalanya."

Yerin menerobos Hanbin lalu melewatinya begitu saja. Jangan tanya bagaimana wajah Hanbin sekarang, masam sekali.

"Bilang aja kamu cemburu, kamu udah punya rasa ke saya, kan?"

"Aku udah bilang, jangan seolah-olah tau segalanya, mas bukan Tuhan."

"Kalo gitu, kamu marah?"

"Aku seharusnya menjadi pemeran utama, tapi nyatanya gak semudah itu. Aku kira mas adalah laki-laki keras yang sulit membukakan hatinya namun dapat berubah saat bersamaku. Nyatanya aku salah, mas adalah mas. Laki-laki keras yang konsisten pada pilihannya yang salah, iya aku marah."

"Kamu gak usah jadi pemeran utama. Simple tapi malah kamu buat ribet, kenapa mesti marah? Kamu nyimpen rasa ke saya?"

"Nyimpen ngga tapi sedang mencoba, bagaimanapun mas suamiku dan aku harus membuka hati, ngga peduli mas mau gimana."

"Tutup aja hatimu, saya ngga butuh."

Aku bingung, lebih baik lanjut atau nggak :(

Imagination - Hanbin Yerin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang