"Haduh, harusnya kamu tetap di rumah saja. Jadi susah, kan?!" Keluh Shiho yang harus membantuku berjalan menaiki tangga menuju kelas.
Hari ini aku sudah masuk. Seharian di rumah membuat aku tidak betah, aku butuh kegiatan, sekolah misalnya. Jadi hari ini, aku merengek masuk walau masih cidera.
Tapi sedari tadi aku mencari seseorang yang dua hari ini menungguku di depan gerbang sana. Kata Shiho dia kemarin menungguku datang.
Apa dia pikir aku masih di rumah? Loh, untuk apa juga ya aku memikirkannya? Tidak penting juga!
"Akhirnya. Haduh pundakku!" Ucap Shiho dengan menyentuh pundak kirinya.
"Berisik, ingat kamu juga merepotkanku waktu SD." Shiho berdecak sebal mendengarnya namun kembali berjalan ke depan, ke tempat duduknya.
"Wah, sersan! Selamat datang kembali!" Kini aku mendengar seruan Manaka yang baru masuk ke dalam kelas lalu duduk di hadapanku. "Bagaimana kakinya?"
"Belum terlalu membaik tuh," jawabku jujur.
"Kalau aku jadi kamu, aku memilih di rumah saja."
"Aku setuju padamu, Shida!!" Sambung Shiho dari depan sana.
Aku berdecak sebal, "Berisik kau!"
Manaka cuma terkekeh dan kemudian menoleh ke kanan dan kiri lalu memanggilku.
"Kenapa?"
"Dimana pengawalmu?" Aku mengerutkan dahi. Sejak kapan aku punya pengawal?
"Pengawal?" Tanyaku, bingung
"Sugai. Sugai-sama." Jawab Manaka diselingi tawa namun ku balas dengan tindikan bahu.
"Aku gak tahu kemana dia."
"Bukannya dia biasanya menunggumu di gerbang?"
"Kali ini mungkin dia masih berpikir aku absen."
Manaka mengangguk, "bisa jadi sih,"
Seharusnya, aku senang dong kalau Yuuka tidak mengangguku karena berpikir aku absen. Tapi kenapa ya, aku malah ingin melihat mukanya yang selalu tersenyum saat ku omeli itu?
Aku menggelengkan kepala secepat mungkin saat berpikir ingin melihatnya. Tidak, tidak boleh. Ini pasti karena aku absen seharian jadinya otakku sedikit beku tidak dipanaskan.
Sementara itu ketika istirahat, di ruangan kelas yang lain. Yuuka memutar-mutar ponselnya, dia masih ragu untuk membuka topik di chat. Dia takut menganggu, takut merasa aku akan risih, dan takut tidak balas.
Dengan semua pikirannya itu, dia mendengus kesal lalu bersandar di kursi. Tidak lama, kejadian kemarin mengingatkannya. Tentang muka Koike yang terlihat sangat membencinya itu.
Habu bodoh —dan sangat tolol!— dia berhasil membuat Yuuka menjadi orang paling jahat di muka bumi ini karena mematahkan dua hati sekaligus.
Seharusnya Yuuka tahu kalau dia sudah tidak boleh berharap pada siapapun yang sudah mempunyai kekasih—walau itu adalah teman baik, teman sedari kecil—.
Tiba-tiba saja, ia melihat diriku yang dibantu Manaka keluar dari kelas menuju kantin. Buru-buru dia berdiri dan keluar menghampiriku.
"Kenapa tidak bilang kalau masuk?"
Aku yang bersusah payah keluar dari kelas mendapati Yuuka mengambil alih posisi Manaka menggotongku.
"H-hei!" Ujarku, terkejut. "Kamu ngapain?!"
"Membantumu berjalanlah, mau kemana? Kantin?"
"Tidak perlu aku sama Manaka saja!"
"Maaf ya tapi aku buru-buru, dah!" Begitu aku berkata demikian, Manaka sudah kabur ke bawah terlebih dulu. Manaka berengsek!!
"Jadi mau aku temani?" Tawar Yuuka dengan senyum lebar nan menjengkelkan bagiku. Tapi aku lapar dan aku ingin ke kantin dengan cepat. Maka aku mengangguk, mengiyakan.
Sesampainya di kantin. Aku mulai menyadari bahwa banyak pasang mata yang melihatku dengan Yuuka. Aku risih, sangat. Apalagi beberapa dari mereka langsung berbisik-bisik, entah apa topiknya.
"Kamu duduk sini, kamu mau menu apa?"
"Bebas. Samakan denganmu juga tidak apa-apa." Jawabku dan kemudian Yuuka mengangguk lalu pergi.
Tidak lama dia kembali dengan mampan yang dia berikan kepadaku.
"Mana punyamu?"
"... Iya, ini mau aku ambil."
Dia pun kembali lagi dengan semampan makanannya. Dia duduk di hadapanku dan mulai tersenyum, "selamat makan!"
Dia menyuapi makanannya itu ke mulut. "Umh... Enak!"
Yuuka seperti anak kecil. Dia makan dengan cepat. Aku sendiri sampai kalah cepat olehnya. Dia ini doyan atau lapar atau apa?
"Terima kasih makanannya!"
"Makanmu cepat sekali.."
"... Hehehe," dia tertawa.
Dia melanjutkan makannya. Walaupun cepat namun ia makan dengan sangat rapi. Lihatlah cara dia menyumpitkan udang dan nasi ke mulutnya. Dia punya manner yang tinggi.
"Ayo, ku antar ke kelas." Dia kembali membantuku berjalan.
"Sebenarnya kemarin aku membawakanmu tongkat jalan," celetuknya.
"Benarkah?"
"Tapi kamu gak masuk kemarin jadi aku gak bawa hari ini karena aku pikir kamu juga akan absen. Maaf."
"Kenapa kamu meminta maaf, bodoh."
Yuuka tersenyum, ".. karena aku ingin Akanen melihatku membantu Akanen."
Aku terdiam, tidak menjawab apapun namun aku rasa jantungku tidak bisa diam seperti mulutku. Dia berdetak tak karuan, membuatku takut Yuuka akan mendengarnya.
Aku gak tahu kenapa tapi kini sentuhan Yuuka membuatku hangat. Genggamannya di pinggangku begitu kokoh. Tanpa sadar aku tersenyum saat melihat wajah sampingnya yang berjarak gak jauh di wajahku.
"Terima kasih." Ucapku saat dia membantuku duduk di kursi. "Terima kasih karena telah membantuku."
Aku gak tahu kenapa tapi aku suka wajahnya yang tersipu malu seperti sekarang. Dia tersenyum lebar dan menunduk, kemudian melambai dan pergi.
"Ku lihat, ada yang mulai jatuh cinta." Sahut Manaka yang entah kenapa selalu berada di depanku.
"Hah— Sejak kapan kamu disana?"
"Sejak tadi kamu mengucapkan terima kasih?" Dia tersenyum miring.
"Terserah apa maumu,"
"Oh ayolah, Akane. Kenapa kamu gak menerimanya saja?"
"Kamu gila? Kamu pikir aku akan menerima seseorang yang hanya berlaku baik padaku saja begitu?"
Manaka mengangkat sebelah alisnya, "bukannya kamu memang begitu? Buktinya kamu senyam-senyum sendiri ta—"
Sebelum Manaka menyelesaikan ucapannya. Tanganku sudah menempel di mulutnya. "DIAM!"
Aku gak mungkin jatuh cinta sama Yuuka. Kenal saja baru-baru ini semenjak kejadian bodoh itu. Orang aneh macam dia itu memang sulit dikendalikan.
.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
30-Days.
Fanfiction"Jadilah kekasihku, Moriya Akane." ucapnya di depan semua guru dan murid di glosarium. Membuat semua mata tertuju padaku.