H-4

262 46 0
                                    

Sepi. Itulah yang Yuuka rasakan saat dia kembali ke rumahnya setelah pulang dari sekolah. Seluruh ruangan kamar yang biasanya penuh dengan barangnya semakin lama semakin menghilang, menyisakan banyak tempat lapang yang menyadarkan Yuuka bahwa ternyata kamarnya lumayan besar juga.

Hanya tersisa meja, lemari, dan kasur dengan beberapa bantal yang akan tetap disini sementara sisanya sudah dipindahkan jauh-jauh hari. Ia kini benar-benar tidak bisa mengelak lagi.

Dia duduk dipinggiran kasur, menatap kosong batangan mewah dengan harga tinggi di tangannya, sedaritadi ponselnya ia matikan karena kakeknya selalu menghubungi. Yuuka mendesah pelan.

Dia menidurkan tubuhnya perlahan, pandangannya terarah ke langit-langit, disana mungkin ia akan menghabiskan waktu cukup lama, dan tak mungkin bisa bernafas lega seperti ini.

"Nona, ada yang mencari anda." Yuuka bangkit dan ikut keluar dengan pelayan yang datang ke kamarnya.

"Ah.. Shida? Shiho?" Yuuka terkejut saat sepasang kekasih datang ke rumahnya tiba-tiba. Masih memakai seragam pula. "Duduk saja,"

"Aneh. Padahal aku ini juga teman dekat Akanen, kenapa masih memanggilku Shida sih. Panggil saja Manaka atau Mona!" Komentar Manaka hingga ia dihadiahi sebuah pukulan di pundak oleh Shiho.

"Kami kesini untuk membicarakan sesuatu padamu!"

"Eh? Apa itu?"

"Acara pertemuan kau dan Akane empat hari lagi."

"E-eh?"

***

Akane baru saja pulang ke rumah dan tidak menemukan Shiho disana. Padahal anak itu sudah minta izin pulang lebih dulu. Akane meletakan tasnya di kamar lalu duduk mengistirahatkan kakinya yang pegal.

"Sebentar lagi, Akane.." bisiknya pada dirinya sendiri kemudian menatap ke langit-lagit. "Sebentar lagi ya..."

Akane paham bahwa dia tidak bisa egois, bagaimanapun Yuuka tidak boleh membuang kesempatan itu hanya demi Akane, toh, Akane ini bukan siapa-siapa juga.

Tapi, perasaan sesak apa ini? Kenapa Akane tidak terima dengan keputusan Yuuka? Kenapa dia marah, kecewa, serta sedih? Akane menggeleng. Ya, dia harus tetap kuat.

Walau sedang dalam masa hukuman, dia jadi berhenti latihan tenis untuk sementara waktu dan fokus untuk pementasan sebentar lagi. Teman se-klub sudah mengutarakan rasa rindu pada Akane, ia tersenyum mengingatnya.

"Aku jadi mau main tennis."

Di halaman rumah Akane, terdapat lahan cukup luas dengan tembok yang cukup tinggi untuk dijadikan pantulan bola tenis. Mulai dari peregangan yang pelan sampai pukulan-pukulan sederhana.

Tapi lama kelamaan, pukulannya menjadi sangat kuat, Akane mengeluarkan semua emosi ke dalam pukulannya. Terus menerus, hingga bola yang terpantul itu melambung keluar rumah---syukurnya tidak terkena jendela atau apapun di dekat sana.

Raketnya Akane lemparkan ke tanah. Perasaannya berkecamuk. Dia berjongkok memeluk lutut, rasanya tidak adil berada di lingkup drama semacam ini. Dia ingin marah, sangat ingin.

Tapi marah pada siapa? Tidak ada pihak yang bisa ia salahkan, bahkan dirinya sendiri. Dia mengigit bibir sendiri dengan kesal.

Makan malam tiba, Ibu maupun ayahnya sudah pulang setelah Akane selesai mandi, Shiho pulang tak lama beralasan bahwa dia sedang jalan bersama Manaka.

Di meja makan yang hanya berisikan empat orang itu, suasana yang biasanya bisa sangat hangat mendadak menjadi sedikit suram, alasannya ada di anak sulung mereka, Moriya Akane.

"Akane, kenapa? Makan ibu tidak enak ya?"

Akane menggeleng, "bukan bu, aku cuma sedang tidak ingin makan saja."

"Bukankah kamu harus banyak makan? Kata Suzumoto kamu ikut berpartisipasi untuk pementasan nanti." Timpal sang ayah yang hanya diangguki oleh Akane.

"Ayah cuma mengingatkan kakak? Aku juga ikut loh!" Seru Shiho berusaha meningkatkan suasana sekarang ini.

"Ya. Kau juga."

"Aku selesai," ucap Akane tiba-tiba mengejutkan semua di meja. Apalagi saat dia naik ke atas dengan wajah musam.

"A-aku akan bicara pada kakak," ucap Shiho lalu mengikutinya ke atas kamar.

"Kak?" Panggil Shiho lembut. Ia melihat Akane berbaring di kasurnya. "Kau serius merasa makanan ibu tak enak?"

"Ck, bukan begitu."

"Lalu?"

"Aku cuma sedang tak ingin diganggu, tolong mengertilah."

Shiho mengulum bibir, "kak Yuuka akan marah kalau tahu kakak bersikap seperti ini loh,"

Mendengar nama Yuuka malah membuat perasaan Akane semakin berkecamuk, ia mendengus kesal, dan mendorong Shiho keluar dari kamarnya.

"Jangan sebut-sebut nama itu lagi!" Seru Akane dengan menutup pintu. Shiho yang melihat itu merasa prihatin.

"Patah hati memang menyebalkan,"

---
TBC

30-Days.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang