Pagi telah tiba, seperti biasa Akane dihadapkan dengan banyak tugas dari guru-guru. Manaka di depannya hanya bisa tidur sementara Shiho di barisan depan terlihat sibuk berbicara sendiri.
Semua berjalan dengan datar sampai bel istirahat berbunyi.
Ada satu hal yang ini Akane pastikan, ia ingin melihat Yuuka di dalam kelasnya, tapi kenyataannya anak itu tidak lagi datang. Dia pasti tengah bersiap untuk pergi besok.
"Besok ya," Akane melamun sampai ia tidak menyadari ada Manaka di depannya sedang membicarakan perihal perfom mereka besok.
"Oi, dengar aku apa tidak!" Seru Manaka yang menyadari bahwa temannya itu tidak mendengarkan dengan seksama semua ucapannya.
"Hah?"
"Aish, kamu mengabaikanku!?"
"M-aaf, aku lagi nggak fokus."
Manaka terdiam lalu mendesah pelan, "Karena Yuuka? Dia pergi besok, ya?"
"... iya." Akane menundukan kepalanya. "Aku bahkan gak tahu kenapa aku memilih ikut tampil sama kalian daripada pergi menemani Yuuka sampai ke naik ke pesawat.."
"Aku terlalu sedih sampai gak ingin berpikir soal Yuuka. Ku pikir dengan begini aku aman, pikiranku tertuju pada acara besok..." ucap Akane yang terjeda.
"Tapi nyatanya aku masih ingat dia terus.." lanjut Akane dengan air matanya yang kemudian turun perlahan.
"Akanen.." Manaka tahu bahwa temannya itu butuh waktu untuk menangis, untung saja mereka ada di atap sekolah yang sepi jadi tanpa banyak omong lagi Manaka menarik kepala Akane untuk bersandar di bahunya.
"Sebagai sahabatmu aku berhak meminjamkan bahu, menangis saja. Aku akan bilang ke Shiho ini nanti,"
Akane sedikit tersenyum sebelum akhirnya melanjutkan tangisnya.
Hari semakin gelap sementara Yuuka berada di rumah dengan sepiring makanan mewah di depannya. Saat ini, sang kakek dengan sang ayah ---serta beberapa kerabat--- sedang menyelenggarakan pesta kepergian ayahnya Yuuka dan Yuuka yang akan pindah besok.
"Ku dengar Yuuka lulus sekolah perempuan disana ya?"
"Iya." Jawab Yuuka seadanya. Raganya boleh berada disana tapi jiwanya sudah terbang entah kemana.
"Yuuka! Kemari!" Suara sang kakek terdengar dari kejauhan, Yuuka pun izin pergi dari dua pamannya untuk menghampiri sang kakek.
"Nah, perkenalkan, ini cucuku Yuuka!" Yuuka melihat wanita dengan wajah polos sedang tersenyum kepadanya. "Dia Hori Miona, dia akan menemanimu selama disana nanti!"
"Ah.." Yuuka berjabat tangan dengannya. "Mohon bantuannya,"
"Ah, iya.."
Yuuka menghela nafas berat saat berjalan berduaan dengan Miona, teman selama dia di luar negeri nanti. Bahkan kakeknya sudah memikirkan sejauh itu. Walaupun begitu, Miona sejauh ini terlihat bersahabat, ia banyak menjadi pembuka topik.
"... Aku dengar kamu menembak teman sekolahmu saat upacara penerimaan murid baru ya?" Tanya Miona saat mereka berdua bersandar di dinding belakang rumah.
Yuuka segera membuang muka karena malu, "B-begitulah."
"Wah! Kerennya!"
Yuuka menoleh. Ia tidak berpikir akan mendapat respon seperti itu. Ia melihat Miona tersenyum amat lebar.
"Kau tahu bersikap ekstrim seperti itu jarang sekali dilakukan orang-orang semacam kita, mendengar kamu mengakui terang-terangan seperti itu benar-benar membuatku kagum!"
Yuuka sedikit tersenyum, "terima kasih."
"Lalu bagaimana hubunganmu dengan dia? Berjalan baik?"
Yuuka menengguk minuman di tangannya, "seharusnya begitu kalau aku tidak dipindahkan seperti ini.."
"Ah. Maaf,"
"Tak masalah.." Yuuka mendesah, "Aku memberikannya waktu untuk menjawab perasaanku selama sebulan dan besok.. besok adalah hari itu tapi aku malah akan pergi mungkin sebelum mendapatkan jawaban."
Yuuka mendongak serta menatap ke atas langit gelap, "Kalaupun aku diterima.. aku tidak bisa menjamin bahwa hubungan kami akan baik-baik saja dengan jarak sejauh itu."
"... kau benar," Miona ikut melihat ke langit, "Kau pasti amat tertekan ya dengan keputusan ini."
"Sangat." Jawab Yuuka perlahan.
Miona tersenyum tipis, "Kau pasti sangat mencintai orang itu,"
"Kau benar,"
"Dia beruntung sekali ya?"
"Mungkin,"
"Besok, bagaimana kalau kau pergi bersamanya...?"
"... hah?" Yuuka menoleh sambil mengerutkan dahi saat Miona mengucapkan itu.
***
"Siap! Go!"
Semua murid yang ikut tampil besok terlihat berhamburan keluar dari ruang kesenian, mereka baru saja selesai menghadiri gladi bersih untuk persiapan besok termasuk Akane.
"Akanen! Semangat!" Seru Manaka sambil mengalungkan tangannya di leher Akane.
"Tau, kak. Besok sudah tampil tapi sudah kusut duluan."
"Diam kalian..." Akane mendengus kesal. Dia benar-benar merasa kalangkabut sekarang. Bagaimana bisa dia bersikap biasa saja kalau besok dia mungkin tidak akan mengucapkan selamat tinggal?
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
30-Days.
Fanfiction"Jadilah kekasihku, Moriya Akane." ucapnya di depan semua guru dan murid di glosarium. Membuat semua mata tertuju padaku.