"Mereka telah mengatur ulang jadwal kepergianmu, nona." Yuuka mengangguk saat seorang pelayan pribadinya datang dan mengabarinya hal itu. Yuuka memang sudah mengatur ulang jadwalnya menjadi lebih cepat. Dia benar-benar tidak bisa menepati janji nya pada Akane.
Yuuka berbaring di kasurnya dengan perasaan berkecamuk. Habu benar. Dia tidak ingin pergi, dia tidak ingin meninggalkan segalanya disini, apalagi meninggalkan semua kenangan yang sempat ia buat dengan Akane.
Akane? Gadis itu sedang apa? Dia mengigit bibir bawahnya sendiri, menangis. Sudah lama semenjak ia menangis sendirian seperti ini. Terakhir saat dia mendapat kabar kalau ibu dan ayahnya bercerai dan ia baru tahu setelah dua tahun berlalu.
"Yuuka.."
"Ayah..?"
"Kamu menangis?" Pria itu menyeka air mata yang Yuuka keluarkan dengan miris. Hatinya terasa terluka. Sebagai Ayah dia menyesal, dia menyesal karena tidak ada di sisi anaknya selama ini.
"Ayah, aku benar-benar minta maaf.."
"Untuk apa? Kau tak melakukan kesalahan. Lihat ayah," mata Yuuka bertemu dengan mata sang ayah yang sangat hangat itu. "Ayah dengar kau tidak masuk sekolah ya? Besok masuk ya? Semua temanmu sangat khawatir.."
"Aku tidak ingin masuk sampai aku pindah.."
"Kenapa?"
"Karena.." tentu saja karena ada Akane, dia tidak bisa melihat wajah gadis itu, bisa-bisa dia malah membatalkan kepergiannya. ".. aku.."
"Ayah tahu kenapa.. apa karena Akane?"
Yuuka mengangguk perlahan.
"Hei, nak. Dia juga mengkhawatirkanmu, kau berhutang banyak penjelasan untuknya.."
"Karena itu aku tidak bisa yah, aku tidak bisa menjelaskan padanya.."
Ayah Yuuka membelai rambut anak gadisnya itu dengan lembut, "Kalau begitu mungkin kamu yang mau mendengar penjelasannya?"
".. eh?"
"H-hai?"
"Akane?!"
***
Aku duduk di pinggiran kasur empuk Yuuka. Oh Tuhan, dia punya segalanya. Tapi di rumah sebesar ini hanya sendirian? Kesegalaannya itu tidaklah berarti.
"Kau datang dengan siapa?"
Aku tersadar dari lamunanku dan segera tersenyum padanya, "dengan ayahmu,"
"O-oh."
"Apa ada masalah? Ku dengar kamu tidak mau masuk sekolah.."
"Itu.." dia menunduk, menghindari kontak mata denganku.
Aku sebenarnya sudah tahu, ayahnya yang menjelaskan semuanya, tapi aku ingin dengar langsung dari mulut Yuuka. Aku ingin dengar kejujurannya.
Dia masih diam.
"Yuuka.."
"Maafkan aku, aku mungkin tidak akan bisa menepati janjiku.." dia memandangku dengan mata berlinang air mata.
"Dan sampai bolos sekolah?"
"Maaf.."
"Hah..."
"Aku mengiyakan perpindahan itu.." katanya dengan gemetaran. Aku langsung memeluk tubuhnya. Kenapa dadaku terasa sangat sesak?
"Aku tak ingin membuat Akanen merasa terbebani.."
"Aku tak pernah bilang kau beban.."
"Maaf.." dia menarik jas seragamku dan terisak. Aku mengulum bibir.
Apa yang harus aku lakukan?
"Yuuka.." aku kini berhadapan dengan kedua matanya. Mata yang aku rindukan. ".. kau harus menentukan hidupmu sendiri,"
"A-aku.."
"Kau tak harus tersakiti demi oranglain." Kataku dengan tegas, sesuai dengan yang terlintas di pikiranku.
"Kemarilah, aku ingin memelukmu." Lanjutku dan memeluk erat lagi tubuhnya. Dia ikut membalas pelukku.
"Besok harus masuk, ya?"
Dia mengangguk, "Iya.."
***
Aku pulang ke rumah setelah di antar oleh supir pribadi Yuuka. Aku melempar tasku sembarang dan berbaring di atas kasur sembari menutup mata.
Sial. Sial. Sial.
Aku terus mengumpat dalam hati. Kenapa ini semua terjadi?
Entahlah.
Yang pasti aku ingin sekali menjadi egois, aku ingin Yuuka bersama denganku, tak peduli apapun itu.
Aku ingin memutar waktu agar aku kembali merasakan awal-awal dia mencoba mendekatiku.
Andai saat tahun awal aku menyadari kehadirannya. Semua tak akan serumit sekarang, kan? Kalaupun rumit, akhirnya akan muncul juga.
Tanpa sadar, pikiran itu menjadi penghantar tidur untukku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
30-Days.
Fanfiction"Jadilah kekasihku, Moriya Akane." ucapnya di depan semua guru dan murid di glosarium. Membuat semua mata tertuju padaku.