H-17

340 47 1
                                    

Aku pergi ke sekolah dengan perasaan gundah. Ucapan ayah soal Yuuka kemarin sore membuatku tidak bisa tidur memikirkan apa yang harus aku lakukan kedepannya bersama Yuuka. Apalagi saat Yuuka berkata bahwa dia juga diingatkan seperti itu oleh kakeknya—lewat bibinya.

Malam itu aku benar-benar menangis. Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku menangis untuk hal yang menghancurkan hatiku, aku lupa. Ini mungkin menjadi yang kedua atau yang ketiga kalinya.

Cinta memang membuatku menjadi gila. Aku bahkan tidak mengerti kenapa semua orang menjadi asing begitu aku tiba di kelas, bahkan pada Manakapun.

"Mizuho-sensei tadi siang mencarimu," kata Manaka dengan menyedot susu kotaknya. "Apa urusanmu dan dia belun selesai?"

"Belum. Malah makin ruwet,"

"Ya ampun, memangnya ada apa?"

"Entahlah. Aku bingung juga kenapa." Aku menghela nafas. Pelajaran pertama adalah sejarah, satu dari sekian banyak pelajaran kesukaanku namun aku bahkan tidak mendengarkan satupun pelajarannya.

Ditiap menit aku selalu menghela nafas, pikiranku sudah penuh akibat hubungan kami. Apa yang harus aku perbuat? Sisa 17 hari lagi dan itu bukanlah waktu yang banyak.

***

"Tumben tidak sama kak Yuuka," Shiho terlihat seperti mengejekku saat aku ingin beristirahat dengannya.

"Kau diam saja deh,"

"Cih, selalu begitu."

Kami mengambil makanan dan duduk di sembarang tempat, yang penting bersih dan kosong. Mataku awas memerhatikan setiap orang yang masuk atau keluar dari pintu kantin, lalu retinaku menangkap dua sosok yang membuatku terkejut.

Yuuka dan Habu. Berjalan berduaan. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan kejutku saat melihat mereka berjalan dengan akrab dan orang-orang di sekitar mereka langsung berbisik ria.

"Ini mimpi apa bagaimana?" Shiho menyadari bahwa ada Yuuka disana bersama Habu. "Bukankah kemarin Yuuka masih datang ke rumah dan pulang dengan damai?"

Aku hanya diam saat tatapan mata kami bertemu sepersekian detik sebelum akhirnya dia mengalihkan pandangan ke meja kosong di belakang kami. Dadaku terasa sesak dan sakit. Kenapa tiba-tiba seperti itu?

"Jangan terus melihatnya, Yuuka." Yuuka mengalihkan pandangan ke Habu. Kemarin malam, saat ia pulang dari tempatku. Sang kakek datang dan berbicara empat mata dengan Yuuka. Dia bilang bahwa dia menentang hubunganku dan Yuuka karena kami masih sekolah. Apalagi kami akan menginjak kelas akhir.

Yuuka tidak bisa marah, dia cuma menggeleng tak peduli dan kembali ke kamarnya secepat yang ia bisa. Dan ia memutuskan untuk membuat jarak antara kami, keputusan egois yang bahkan aku tidak pernah ingin hal itu terjadi.

"Apa yang terjadi pada kamu dan Yuuka? Semua orang menjadi gempar karena Yuuka kembali dekat dengan Habu!" Aku membuang muka saat Manaka tiba di depanku dan memasang wajah panik.

"Aku gak tahu,"

"Oh, hey. Aku ini temanmu!"

"Kalau aku tahu juga aku pasti kasih tahu!"

Manaka duduk dengan wajah bingung, "Kok kamu tidak tahu kenapa?"

"Ya mana aku tahu, aku kan gak tahu."

"Astaga.."

Sejujurnya, aku tadi sudah menghampiri kelas Yuuka. Dan kata Kumi, Yuuka tidak ada disana. Dia pergi berdua bersama Habu entah kenapa. Kumi juga bilang bahwa Yuuka menjadi pendiam dan khawatir akan kondisi sahabatnya itu.

Aku sendiri tak bisa berkomentar banyak. Mungkin aku harus berbicara langsung dengan Yuuka sepulang sekolah.

Shiho sudah diperjalanan pulang sementara aku di depan kelas Yuuka. Ku lihat gadis itu masih membereskan buku-bukunya. Begitu ia keluar, aku memanggilnya.

"Y-yuuka!"

Dia menoleh namun wajahnya dingin, tidak seperti biasanya yang selalu dipenuhi oleh senyum. Dadaku menjadi sesak melihatnya. "Ya?"

"Bisa aku bicara padamu?" Aku tidak paham mengapa Yuuka bersikap seperti ini padaku. Padahal kemarin kami baik-baik saja. Dia masih mengecup keningku sebelum benar-benar pergi dari kamar dan pulang. Dia masih mengirimkan aku pesan selamat malam dan mimpi indah.

Tapi hari ini, dia berbeda. Seolah sesuatu memaksanya untuk menjauhiku. Aku yakin bahwa dia tidak ingin begini. Aku tahu dia juga merasakan sakit yang aku rasakan. Dia menatapku sejenak dan hendak menjawab.

"Ak—"

"Yuuka." Aku mengarahkan pandanganku pada Habu yang muncul. Aku berdecak, mulai terpancing emosi begitu melihat kakak kelasku ini datang mengangguku dengan Yuuka. "Kenapa lama sekali? Aku menunggumu loh."

"Ah, ya, sebentar." Yuuka menatapku dan memberikan seutas senyum tipis nan menyakitkan. ".. maaf, Moriya. Tapi aku harus pulang segera."

"Ta—tapi!" Yuuka mengikuti langkah Habu yang tersenyum licik di hadapanku. Oh ya, Tuhan. Dadaku rasanya sakit sekali. Aku mengigit bibirku sendiri. Mataku pedih dan panas, dan cairan bening mengalir mulus di pipiku.

***

"Lepaskan aku," kata Yuuka dengan dingin pada Habu yang menggandengnya. Mendengar itu, Habu melepas genggamannya. Ia menatap Yuuka.

"Kenapa?"

"Kau pulang saja sendiri," ujar Yuuka lalu ia berputar arah berlawanan dengan Habu. Habu yang melihatnya segera memanggil Yuuka namun ia tidak mau mengubris.

"Hah? Kamu mau kemana?! Yuuka!!"

Yuuka menghentikan langkahnya dipersimpangan jalan. Dia benar-benar bodoh. Ia paham bahwa dia tidak bisa menghindariku namun ia memaksanya dan itu menyakitkan. Yuuka menghela nafas saat mendapatkan sebuah panggilan dari seseorang.

"Hallo?"

"Yuuka. Dimana kamu? Habu bilang kamu pergi sendirian."

"Aku akan pulang nanti, ada urusan sebentar."

"Pulanglah sekarang. Minta supir menjemputmu. Ayah mau bicara."

"Aku mengerti ayah,"

***

TBC

30-Days.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang