H-19

387 51 2
                                    

Aku melihat kalender, tinggal beberapa hari lagi sampai aku harus menjawab ajakan Yuuka berpacaran. Ungkapan Habu kemarin mengiang-ngiang di kepalaku, bagaimana ini?

Aku duduk di pinggiran kasur sembari menghela nafas. Aku bahkan tidak tahu apa kesukaan Yuuka selain berkuda— gadis itu mencintai kuda lebih dari apapun.—selebih itu, entah, aku tidak bisa menjawabnya.

Ketukan pintu terdengar, itu Shiho. Dia membuka pintu dan membawa bingkisan. Hari ini aku absen sekolah. Ku baru saja pulang dari pertandingan tenis di sekolah lain dan membawa pulang medali emas.

"Kami mendengar berita kalau kamu menang. Ini, hadiah dari ayah." Sebuah bingkisan sepatu tenis idamanku menjadi hadiah pertama. Aku tentu merasa sangat senang, begitu senang sampai aku kembali merasa seperti kosong.

Yuuka.

Apa gadis itu tidak tahu kalau aku menang? Ponselku tidak berbunyi dari tadi pagi, tidak seperti biasanya. Shiho yang memang sudah pulang sekolah menatapku heran.

"Kenapa diam? Ku pikir kamu akan guling-gulingan di lantai," katanya dengan nada mengejek. Memang biasanya saat memenangi sesuatu, aku selalu paling excited.

"Apa cuma ayah? Tidak ada yang lain?"

"Um. Tidak."

Nafasku langsung terhela panjang. "Begitu ya.. baiklah,"

Shiho langsung pergi, meninggalkan aku di kamar. Pikiranku langsung tertuju pada Yuuka. Gadis itu kemana? Kemarin, setelah aku menangis, aku menjadi lebih diam. Ia berusaha mengajakku bicara namun aku terus mengelak, bahkan tidak melihat kedua matanya. Apa mungkin dia marah karena itu? Bisa jadi.

Aku menutup mataku dan terlarut dalam tidur. Sampai aku mendengar suara gaduh di lantai bawah. Aku bangun dengan tubuh cukup pegal, mungkin karena aku belum mandi, dan mengganti pakaian. Aku melirik jam. Pukul tujuh malam, dua setengah jam tidurku. Aku beranjak keluar kamar. Rumahku gelap.

"Shiho!" Panggilku. Aku membuka pintu kamarnya dan sama-sama gelap. Aku mengeritkan dahi. Apa mungkin ia pergi?

"Ibu!" Ibuku juga tidak ada di kamarnya. Jadi aku memutuskan turun. Masa iya mereka pergi tanpa membangunkanku dan membiarkan rumah gelap gulita seperti ini?

Aku meraba dinding mencari saklar lampu. Suasananya tidak enak, membuatku sedikit merinding. Apalagi saat sesuatu menyentuh pundakku, aku langsung reflek membantingnya ke lantai dengan teknik Judo—yang ku pelajari SMP dulu.

Bruk!!! "Aduh!" Tunggu. Suara ini? Aku segera menekan sakral lampu dan semua mendadak ramai. Ada Manaka, Shiho, Ayah, serta Ibu yang terkejut bukan main di belakangku. Dan di bawahku.

"Yuuka!!!!!"

***

Yuuka terus mengaduh soal pinggangnya. Salah sendiri! Kenapa malah punya ide membuat kejutan seperti itu? Yuuka memang sengaja memberikan kejutan untuk kemenanganku. Dia menyiapkan makanannya, dibantu oleh yang lain juga.

"Selamat ya, kamu memang atlit tenis kebanggaan sekolah!" Seru Manaka merangkul pundakku.

"Selamat, Akanen. Kamu memang anak yang hebat!" Kini puji ibuku dengan memeluk erat tubuhku. Ayahku menepuj pundakku dan mengecup keningku. Shiho cuma tersenyum. Dan Yuuka..

"Aku bangga padamu," semua orang langsung menyoraki kami hingga membuat aku dan Yuuka memerah.

"Kamu menyukai sepatu yang ku berikan?" Tanya Yuuka saat kami berada di halaman belakang rumahku, BBQ.

"Sepatu yang mana?"

"Shiho belum memberikannya?"

Aku mengerutkan dahi, "Itu darimu?!"

"Iya. Kamu suka kan?"

"Tapi, Shiho bilang.. itu dari ayah!" Yuuka tertawa lalu kembali melihat ke arahku lembut.

"Sebenarnya aku ragu mau membelikanmu apa, jadi aku tanya pada ayahmu dan dia bilang kamu ingin sepatu itu." Ah jadi begitu. Hadiah itu dari Yuuka. Aku menunduk malu. Yuuka selalu bisa memberikan apa yang aku inginkan, ia tahu apa yang aku butuhkan, dan apa yang aku sukai.

"Ngomong-ngomong.." aku menoleh padanya. Dia menatapku sangat intens sampai aku enggan menghindarinya.

"... Ini tinggal 19 hari lagi," katanya begitu tegas walaupun terdengar pelan. Aki mengangguk. Aku paham maksudnya. Ia menyentuh tanganku, mengenggamnya erat.

"Aku sangat menyukaimu. Tapi semua kembali padamu, kamu yang bisa memilih mau atau tidak." Lanjutnya dan tersenyum begitu manis, "tapi jika aku boleh egois, aku ingin sekali kamu menjawab 'ya'."

"Cih, cuma berduaan saja!" Seru Manaka yang melewati belakang kami membawa banyak daging untuk di bakar. "Lebih baik kalian bantu kami bakar disana!"

"Baiklah!" Yuuka segera pergi, meninggalkan aku yang mengigit bibir. Aku menyukai Yuuka. Tapi apakah aku pantas untuknya?

30-Days.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang