11# Whole Suck World

14K 1K 63
                                    

#another part guys... So vote first and comment along the lines.... Okey honeys?#

***

Tantri berjalan berjingkat mendekati pintu ganda ruang baca. Ia sudah mencuci tangan dan kaki di pancuran depan tadi, dan sekarang malah ragu sendiri dengan keputusan awalnya. Haruskah ia mengetuk dan menemui Pak Ridan? Bukankah memang kewajibannya untuk melaporkan apa yang sudah dikerjakannya hari itu kepada si pemberi tugas?

Dan yang lebih penting, ia bisa melihat Pak Ridan. Meskipun cuma beberapa detik...

Apakah dia sudah sembuh dari demamnya kemarin? Bagaimana pekerjaannya dengan Pak Hisyam hari ini? Apakah Pak Ridan sudah makan? Barangkali ia bisa menawarkan sesuatu; memanaskan muffin atau membuatkannya mie instan...

Tantri diam terpaku di depan celah pintu yang hanya selebar kepalan tangannya. Ini masih sore; baru pukul delapan. Pak Ridan biasanya tidak tidur sampai jauh malam. Ia seringkali masih sibuk membaca, atau bekerja dengan komputernya, atau berbicara tentang bisnis di telepon dengan banyak orang dalam berbagai bahasa.

Tangannya terulur dan membuat ketukan lembut di permukaan pintu.

"Ya... ada apa?!" suara ketus di dalam menyahut tidak senang, tetapi ia sudah terlanjur mengetuk, dan lari tiba-tiba dari sana mungkin hanya akan membuat majikannya bertambah marah. Maka ia mendorong pintu itu.

"M-maaf, Pak Ridan. Saya sudah kembali dari rumah sakit..."

Ridan memutar kursinya yang semula membelakangi pintu. Ia menaikkan sebelah alis memandangnya. Hal itu segera diterjemahkan Tantri sebagai penerimaan, dan ia masuk lebih jauh sampai ke depan meja dokter itu. Tetap saja ia tidak berani duduk tanpa dipersilakan.

"So?..." hanya itu yang keluar dari mulut majikannya, dan kalau tidak salah itu artinya 'jadi?'... jadi Pak Ridan bertanya padanya apa yang terjadi, begitu, kan ya?

"Saya menemani Bu Kaylita sepanjang hari ini dan melayaninya... saya juga pergi ke rumah Mbak... eh, maksud saya Ibu Kaylita untuk mengambilkan pakaiannya. J-jadi dia sekarang sudah memakai pakaiannya sendiri, Pak... tidak memakai pakaian dari rumah sakit lagi.... Eh... ini saya membawa baju kotornya..." Tantri merasakan tangannya yang menggenggam tas kertas berisi baju itu menjadi licin oleh keringat. Jantungnya melompat-lompat begitu gaduh, hingga ia yakin Ridan dapat mendengarnya.

Duh... apa yang dilakukannya di sini? kenapa ia harus mengatakan hal konyol seperti itu?

"Jadi..." Ridan memutar kusinya lagi menghadap sepenuhnya kepada Tantri dan menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya di atas meja dengan sangat lembut dan berbicara pelan, "Kau menyuruhku mencuci bajunya? Begitu?"

Kilat kemarahan di sudut matanya sampai memantul di bingkai kacamata. Tantri merasa sebentar lagi ia akan pingsan.

"Bukan... maksud saya... saya ingin tahu apakah yang saya lakukan ini sudah benar. Bapak tidak pernah suka pakaian yang dicuci di laundry... jadi saya kira saya harus mencuci baju Bu Kaylita di rumah, karena nanti toh baju itu juga akan bersinggungan dengan Nona Eve..." Nada akhir Tantri mencelos, jawabannya benar-benar idiot. Tapi bukankah itu lebih baik dari pada jawaban tolol?

Ridan menyandar di punggung kursi sambil menghela nafas panjang. Kenapa tidak sekarang saja ia mengusirnya keluar dari ruangan itu? Tantri benar-benar bodoh saat memutuskan untuk datang ke ruangan ini tadi. Apa bedanya memangnya ia melapor atau tidak? Ridan toh tidak terlalu perduli.

"Lalu?" dokter itu menyangga sebelah pelipisnya dengan satu jari yang bertumpu di lengan kursi, memandanginya dengan kilatan mata yang tidak bisa diterjemahkan Tantri dengan jelas.

NURSING CONTRACT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang