12# A Glint in His Eyes

12.6K 1.1K 94
                                    

#vote before you read, coment afterward and wish me the best luck dears!!!#

***

"Tok... tok..." Ridan memunculkan wajahnya di celah pintu dengan sebuah senyum kecil, melihat dokter muda seniornya tengah sibuk mengetik sesuatu di HP-nya.

"Hai...!" Terry seketika berdiri melihatnya, dan Ridan masuk, mengamati ruangan kosong itu. Tiba-tiba ada kepedihan yang menyayat, mengingat ia dan Erina pernah berada di sana saat pertama kali mendengar bahwa istrinya mengandung anak mereka.

Anak itu... Eve...

"Aku kira aku harus melapor padamu.. karena sudah beberapa hari tidak datang ke rumah sakit," ia berseloroh, mengusir kegetiran itu dengan senyuman.

"Aku dengar kau sakit.... Bagaimana keadaanmu? Duduklah." Terry menyeret Ridan ke kursi seperti kebiasannya dan langsung menempelkan telapak tangannya ke dahi pria itu tanpa mengindahkan kerut protes di wajahnya.

"Aku tidak apa-apa... hanya demam seperti biasanya... Kau ini apa-apaan?!" Ridan mengambil tangan wanita itu dari wajahnya dan menurunkannya.

"Jangan membuatku gila, Dan. Tingkahmu yang sok normal itu saja sudah membuatku was-was... Apa kau tahu betapa tidak normalnya seorang ayah yang tidak pernah sekalipun menjenguk putrinya di rumah sakit?"

"Aku melihatnya.... Aku mendengar kabarnya setiap hari. Kau bisa tanyakan padaku apapun tentangnya, aku pasti tahu jawabannya."

"Karena pengasuh itu? Apa kau pernah secara fisik menyentuh putrimu?"

"Terry...," Ridan mendesah, melihat dahi wanita itu berkerut dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Sudahlah... kalau kedatanganku hanya membuatmu menangis, sebaiknya aku pergi saja." Dokter itu berdiri dari kursinya dan hendak berbalik, tetapi Terry menahan lengannya.

"Tunggu dulu... dengarkan aku...." Mereka berhadapan dalam jarak yang dekat, Terry mendongak sedikit menatap sahabatnya sejak di bangku sekolah itu.

"Yakinkan aku saja... bahwa dengan cara apapun, kau akan melalui ini suatu hari nanti... Aku tidak bisa hidup dengan ketakutan bahwa kau tidak akan bisa bahagia lagi... Aku sudah merelakanmu dulu, karena kau sudah mendapatkan wanita yang sangat kau cintai... Aku melanjutkan hidup, dan menemukan kebahagiaan. Tetapi kalau kau sekarang seperti ini, aku bisa apa?"

"Kau lihat aku tidak apa-apa... Aku mungkin marah pada semua orang dan bersedih, tetapi kita semua tahu masa duka akan ada akhirnya.... Suatu hari nanti aku akan bisa hidup dengan kesedihan ini... Dan kau... apa yang kau lakukan ini justru membuatku merasa malang, Terry." Ridan mengelak dan menarik lepas tangan-tangan wanita itu yang mencengkeram muka jasnya. Tetapi wajah cantik itu tetap bertahan.

"Jangan, aku mohon jangan mendorongku menjauh.... Aku ingin melewati kesedihan ini bersamamu...." tiba-tiba saja ia telah menangkup wajah Ridan, dan menariknya ke arah wajahnya. Bibir mereka bertemu dalam sebuah kecupan lembut dari Terry. Kecupan lembut dan lama. Sementara Ridan mematung terdiam, hingga akhirnya wanita itu menjauhkan wajahnya untuk melihat ekspresi dokter muda itu.

"Terry..." tidak bisa tidak ia merasa kikuk juga melihat ekpresi terkejut rekannya dan juga kilat kecewa yang begitu kentara.

"Oh Tuhan... maafkan aku. Aku benar- benar kacau dan bodoh." Wanita itu tergagap, menangkup pipinya sendiri yang merona oleh rasa malu

"Dengar, Terry... aku sangat menghargai semua yang kau lakukan... Aku tahu apa yang kau rasakan untukku. Tapi kau sudah bahagia kini.... Kau memiliki Dimas! Kau kekasih sahabatku...

Jangan memandangku seperti adik kelasmu yang malang karena menjadi sasaran bully seperti dulu. Kau sudah mengajariku untuk tegar, dan aku sudah sangat besar sekarang. Sebesar ikan paus! Pikirkanlah Dimas dan kebahagiaanmu." Ridan mengulas tawa kecil, berusaha mengurai kecanggungan yang ada.

NURSING CONTRACT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang