27# I'm Sorry

10.9K 1.2K 244
                                    

#subhanallah... terimakasih atas doa serta kesabaran kalian menantikan Nursing contract.

Saya mau bertanya masalah teknis teman teman. Dalam menulis saya tidak menggunakan penanda 'POV RIDAN' atau 'POV LITA', dan hanya memakai asteriks '***' untuk menandai perpindahan sudut pandang atau pergantian waktu. Apakah hal ini membingungkan buat kalian? Apa kalian sering bertanya "ini POV siapa?' Atau kalian bisa menikmati perpindahan itu dan mengalir begitu saja mengikuti ceritanya?

Ini masalah teknis. Saya hanya ingin tahu pendapat kalian.

Happy vote and read and comment. Semoga kebersamaan kita berlangsung selamanya walau hanya dalam wattpad#

~*~

Tatapan matanya yang jatuh di atas jeans putih pudar itu terus saja mengabur karena kantuk. Lengannya sudah kaku mengajak istirahat sejak tadi. Tetapi ia sudah terlanjur janji pada pemilik kios laudry akan menyelesaikan setrikaan ini sebelum besok pagi. Tinggal satu keranjang lagi saja, atau kalau terlalu lelah mungkin ia bisa berbaring sebentar di tikar yang mengalasi kakinya, memejamkan mata beberapa menit, sembari menunggu cucian di belakangnya selesai dibilas.

Kaylita sudah terlanjur berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mengeluhkan pekerjaan ini. Sudah untung masih ada pekerjaan yang bisa didapatnya, setelah kemarin ia menyuruh Alina mengembalikan semua gaji dari bos besar itu. Meskipun masih ada hutang uang yang sudah dipakainya, tetapi sebenarnya gaji itu adalah sepenuhnya haknya. Ia bisa menggunakannya atau mengembalikannya. Batinnya meneriakkan bahwa ia tidak membutuhkan uang dari Pak Ridan. Tidak setelah semua yang dia katakan.

Ah sudahlah....

Tangan Kaylita memutar volume radio kecil di sampingnya. Mengingat-ingat hal itu hanya mengorek-orek luka. Alina benar saat mengatakan bahwa kita tidak perlu memikirkan perkataaan orang. Yang penting adalah bagaimana penilaian Tuhan terhadap dirinya. Memikirkan ucapan orang itu hanya akan menambah sakit hati dan lebih parah lagi, membuat ia merasa buruk.

Sebuah ketukan lembut di kaca pintu membuat wanita itu mengangkat pandangan dari pekerjaannya. Nyalinya sedikit mengerut mengingat apa yang bisa terjadi pada malam sesepi ini pada seorang wanita yang bekerja sendirian. Kaylita ingat ia telah mengunci pintu kios walaupun kerainya masih terbuka. Ada seseorang di luar sana, dan ia mengulangi ketukannya. Tapi siapa?

Wanita itu menegakkan setrikanya dan berjalan perlahan menghampiri pintu. Tidak ada yang bisa dirampok di kios itu kecuali setumpuk cucian kotor dan setrika. Semua uang hasil kerja siang tadi sudah dibawa pemilik kios. Lita hanya punya beberapa puluh ribu di dompetnya.

Ia menyesuaikan matanya dengan kegelapan di luar, dan seraut wajah mengerdik di depan pintu kaca itu. Lita merasa jantungnya mengerut karena terkejut. Sakit hati dan kemarahan itu menyala lagi di dalam dadanya.

Pak Ridan...

"Bisakah... kau buka pintunya sebentar, Bu Kaylita?.... Bisa kita bicara?" suaranya teredam di luar. Rambut dan wajahnya sedikit basah karena gerimis. Lita tidak melihat lagi sorot tajam kesombongan dan kemarahan di mata itu. Pria itu justru tampak sedih. Tetapi ekspresi penuh permohonannya tidak bisa mengalahkan bara kemarahan yang sekarang terasa panas di dadanya. Ia senang pintu itu terkunci.

"Bagaimana Bapak bisa tahu saya di sini?!" Lita berujar keras, menembuskan ketidaksenangannya melalui kaca.

"Alina yang memberitahuku.... Aku telah salah paham, Bu Kaylita.... Aku datang untuk minta maaf...."

Kaylita maju lebih dekat ke pintu. Tangannya melepas tali kerai kaca dari penahanya, dan mengulurnya perlahan, membuat kerai berbahan plastik itu turun menutup, "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di antara kita."

NURSING CONTRACT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang