Pesan Teks Abu-Abu

18 0 0
                                    


Sesampainya ia di kota, kak Dika mengirimkan pesan text padaku.

" Hay Yesa, aku sudah sampai. dan sedikit merasa sedih. berpisah dengan kalian. Salam buat teman lainnya ya"

Walaupun dia menggunakan kata "kalian" tapi sudah berhasil membuatku tersenyum hingga berminggu-minggu.

Secara rutin kita saling berbagi kabar, berbagi kisah, berbagi cerita. Hingga pada suatu saat pesan ambigu itu datang.

" Yesa, jika saatnya nanti kita pasti akan bertemu. Tunggu saja aku"

Pesan yang mengatakan bahwa dia akan pergi.

Kalimat itu tampak kurang jelas bagiku, dan aku mencoba untuk memperjelasnya. Sayang sekali pesanku sudah tak dibalas, telfon-ku tak di anggkat. Dan keesokan harinya, ku ketahui bahwa nomor yang dia pakai sudah tidak aktif.

Hari-hariku jadi sedikit kacau karena terbagi-bagi atas kegiatan harian dan perasaan cemas menanti.

Kau tau bagaimana rasanya menanti kepastian? Seperti fatamorgana digurun pasir, terlihat tapi tak nyata. Itu yang kurasakan saat ini.

Hingga kuputuskan untuk tetap menggunakan nomor ini alih-alih berjaga-jaga jika suatu saat dia akan menguhubungiku kembali.

3 Bulan sudah dia tanpa kabar, selama itu aku selalu setia mengirimkan salam lewat radio. Sampai kak Dina menggenalku secara pribadi. Aku-pun sempat di undang curhat melalui telfon. Juga membuat beberapa puisi untuk kak Dika. Walau ku tahu dia tak akan mendengar karena Radio ini hanya bisa mengudara di 3 kota saja. Sedang aku dan kak Dika beda provinsi.

" Hai Yesa, selamat malam" angkat-nya di telfon acara radio malam.

" Hai kak Dina, malam juga"

" Coba kutebak, pasti salam-nya masih untuk kak Dika"

" Hehe tentu"

" Mau curhat apa nih, atau mau kasih pusisi"

" Cuma mau menyampaikan sesuatu, barang kali dia dengar. Aku sedang rindu"

" Ulala, romantisnya dua pasangan ini"

Telfon terputus setelahnya. Sedang kak Dina masih mengoceh sambil menceritakan beberapa potong kisah yang pernah ku kirimkan padanya.

Musim berganti, pesan kak Dika masih menjadi fatamorgana. Sedang aku mulai berdamai dengan rasa penasaran.

Suara Guntur terdengar mengerikan, disusul angin kencang. Eyang segera memanggilku dan mengajakku berdiri di depan pintu dapur yang terbuat dari bamboo. Sambil berjaga-jaga jika rumah kita akan roboh tersapu badai.

Aku masih ingat sekali, ini adalah kali pertama aku melihat badai yang cukup besar. Tetangga pada ramai saling mengintip di balik pintu rumah masing-masing. kak Ulya dan nenek-nya juga berjaga-jaga di depan pintu. Niha dan Marya juga sama. Ada yang melempar pacul, membuang nasi dengan bacaan ayat suci al qur'an, ada pula yang mengumandangkan adzan. Dan nenek membaca ayat kursi berdoa agar terhindar dari musibah dasyat.

" Alhamdulillah, sudah mulai reda. Ayo balik ke dalam" sahut eyang.

" Anginnya serem eyang"

" Iku sudah biasa nduk, dulu malah lebih serem. Tapi ini pertama kalinya setelah bertahun-tahun gak ada badai"

" oh, pantesan nek"

" sekarang gara-gara banyak pohon ditebang, angine jadi turun kebawah. Kalau dulu gak sampek nduk. Soalnya wes kena pohon-pohon besar"

obrolan ini berakhir setelah para tetangga keluar kerumah untuk melihat kondisi rumahnya. Ada yang gentengnya jatuh, pohon-nya roboh, ada pula yang rumahnya tertimpa pohon bamboo. Untung-nya kerusakan tidak begitu parah.

Sore itu, suasana tampak dingin. Semua orang tidak ada yang duduk bersantai dihalaman rumah. Hanya bapak-bapak yang bergotong royong membuat parit-parit kecil dihalama rumah agar air dapat mengalir lancar.

" Hei kak Ulya" teriakku pada kak Ulya yang sedang nonton Tv didalam rumah.

" Hei, ada apa?" tanya kak ulya balik.

" Gak berangkat mengaji?"

" Males Yes, kamu berangkat sama Arista dan Meme saja"

Sore setelah hujan turun memang waktu yang kurang pas untuk berpergian, lebih asyik dirumah lihat televisi sambil nyemil gorengan. Halaman sekitar rumah juga becek semua. Jadi kemana-mana pada gak pakai sandal jepit. Pasti banyak tanah liat yang ikut. Untung-nya si Meme punya ide kreatif yang bisa dibilang agak malu-maluin. Walaupun begitu tetap membantu sih.

" Yesa, ayo berangkat" Teriak Meme dengan sandal yang terbungkus plastic dibawahnya.

" Hahahaha.. koe kaya donal bebek Me" kataku.

" Halah, arep gebul lemah ta, wes ayo berangkat" (gebul lemah = tanah ngikut dibawah sandal).

Tanpa kak Ulya, aku Meme dan Arista berangkat menuju saung pondok mengaji. Beberapa anak juga ikutan berangkat tapi sepertinya cukup sedikit. Aku sendiri termasuk anak yang rajin berangkat. Karena dirumah tak ada kegiatan yang berarti.

Sepulang mengaji, aku, Arista dan Meme jalan bersama seperti biasanya. Walaupun harusnya aku sudah pulang 30 menit lebih awal karena jam mengaji kedua tidak ada gurunya. Tapi aku gak bisa harus pulang sendiri, pasti para lelaki usil sedang berkumpul di pertigaan jalan.

Dugaanku tepat, sandal jepitku hilang lagi. Biasanya ini ulah anak-anak jahil yang sengaja menahanku agar aku gak pulang cepat. Seperti sudah menjadi agenda wajib. Sampai nenek bosan karena tiap minggu harus beli sandal jepit baru.

" alamat pulang nyeker lagi nih Me" kataku sebal.

" Ih jahil banget sih mereka. Awas aja kalau ketemu"

Tak menunggu lama, aku pulang dengan kaki telanjang. Sedikit kesakitan karena banyak batu-batu kecil yang tajam. Dan tiba-tiba seorang lelaki datang menghadang langkahku.

" Please Yesa, aku mau ngomong" Lelaki itu menarik-narik tanganku.

" Gak mau. Aku mau pulang!" teriakku.

" Dengerin aku! Aku itu suka sama kamu sudah lama, kamu harus tau itu!"

" Tapi aku enggak ! lepas gak sih"

Lelaki itu terus memaksa agar aku menjawab iya dan terus menarik-narik tangaku sampai tanganku biru-biru. Aku mencoba lepas, tapi cengkramannya begitu kuat. Padahal banyak anak-anak yang menonton tapi seolah acuh dan membiarkan dia memaksaku.

" Arggh" Teriaknya kesakitan karena ku gigit tangannya.

Akupun lari sekencang mungkin, dia tetap mengejar. Aku sendiri heran apa yang dia mau dan apa yang dia inginkan. Mengapa selalu bersikukuh mengejar-ku sampai begitu. Jika itu yang dinamakan cinta. Dia benar-benar buta !.

" Hash.. hash.. Assalamualaikum eyang" nafasku tersenggal-sengal.

" Waalaikumsalam, ni bocah saben pulang mesti nafas gede. Wes kelas 3 SMP sih koyo cah cilik. Lari-lari" gerutu eyang.

" Hehe "

Aku cuma nyengir dan langsung masuk kedalam kamar. Karena aku gak berani terus terang ke eyang ada anak cowok geje yang sering ngejar-ngejar aku pas pulang ngaji.

Lelaki itu adalah Nugroho, lelaki yang sama kutemui saat di perbukitan kemarin. Lelaki itu juga yang membuat aku trauma saat bertemu grombolan lelaki. Karena dia sangat kasar dan dibilang nekat. Walaupun hanya sekedar menarik tangan dan berteriak. Untuk anak desa itu hal yang menakutkan. Untung saja masih ada Meme dan Arista yang mau menemaniku.

Hi, Dika !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang