[17] Ucapan, sayang.

899 25 0
                                    

Pagi ini matahari tampak cerah, burung-burung berkicau merdu seolah memberikan semangat pada setiap orang yang ingin menjalankan aktivitas sehari-hari. Begitupun, aku. Pagi ini aku sangat senang, aku juga tak tahu kenapa yang jelas hari ini berbeda.

"Udy, kamu diantar sama Bang Ical, ya," ucap Papaku.

"Iya, Pa," aku tak membantahnya, toh sama saja, mau di antar Papa atau Bang Ical yang terpenting tujuannya tetap sama, sekolah.

"Yuk, Bang. Kita berangkat," ajakku pada Bang Ical.

"Iya, sabar," jawab Bang Ical.

Tak menunggu lama, Bang Ical telah siap. Ia langsung masuk ke mobil, begitu pun
dengan aku. Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata, meninggalkan pekarangan rumahku menuju sekolah.
Selama di perjalanan baik aku maupun Bang Ical tak ada yang membuka suara.

aku sengaja menyibukkan diriku dengan handphone. Sementara, Bang Ical tetap fokus menyetir.

Hari ini aku agak sedikit bingung dengan Bang Ical hari ini tumben Bang Ical diam begini biasanya jika kami jalan pasti dia selalu mengoceh seperti seorang beo. Tapi, hari ini tidak. Mungkin Bang Ical kecapekan karena tadi malam ia pulang jam satu malam. Aku juga bersyukur
karena Bang Ical tak ada membahas tentang diriku. Dan, itu pertanda bahwa semalam Bang Ical tak melihatku jalan dengan Fahmi.

Tak terasa mobil yang kami kendarai berhenti, pertanda bahwa aku telah sampai di sekolah. Aku meraih punggung tangan Bang Ical lalu menciumnya.

"Udyy, sekolah dulu ya, Bang," pamit ku.

"Iya. Belajar yang benar," jawab Bang Ical.

Aku tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Assalamualaikum," ucapku lagi.

"Waalaikumsallam," jawab Bang Ical.

Aku membuka pintu mobil, lalu turun dari sana. Sebelum aku menutup kembali pintu mobil, Bang Ical memanggilku.

"Udyy, nanti pulang Abang yang jemput," ucapnya.

"Iya, Bang," jawabku. Aku menutup pintu mobil, lalu berjalan memasuki gerbang
sekolah.

Sambil berjalan aku melirik sekitarku. Mencari keberadaan Fahmi, barang kali ia juga baru datang sama sepertiku.

"Nyariin siapa?" tanya seseorang dari belakangku. Aku tanda suara itu, lalu aku berbalik melihat orang tersebut.
Aku tersenyum manis. Benar tebakanku bahwa itu adalah Fahmi.

"Emm, gak nyari siapa-siapa, kok," alibiku.

"Yakin?" sial, Fahmi menggodaku. Aku tak tahan dengan senyum manisnya. Dan,
tanpa kusadari semburat merah terpancar di pipiku.

"Duh, pipinya kok merah gitu," goda Fahmi lagi.

"Apaan, sih. Udah, ah, aku mau ke kelas," elakku.

Fahmi tersenyum menatapku. "Iya, ayo," ucapnya. Ia menggenggam jemari tanganku.

Dan, saat itu juga jantungku berdetak tak normal. Ah, Fahmi selalu saja membuatku ingin pingsan.

"Nanti pulang aku antar, ya," ucap Fahmi. Kami telah berada di depan kelasku.

"Emm, sorry. Aku gak bisa. Tadi kata Bang Ical dia mau jemput aku," tolakku halus.

"Yah, kalah cepat dong aku."

"Ya, mau gimana lagi."

"Kalau besok gimana? Bisa?" tanya Fahmi lagi.

"Emm, iya entar aku usahain," jawabku.
Fahmi tersenyum. Tangannya beralih mengacak puncak kepalaku.

"Yaudah, masuk, gih," ucapnya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Baru saja aku ingin memutar tubuh tiba-tiba Fahmi menahan tanganku.

"Belajar yang rajin, ya, sayang," ucapnya. Setelahnya berjalan meninggalkan kelasku dan menyisahkanku yang senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

[] [] [] []


Fahmi, kamu itu pria yang menyebalkan. Tapi, entah mengapa aku bisa sayang.

BACKSTREET (COMPLETED)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang