[18] Seperti tersindir

944 30 0
                                    

Malam ini keluargaku lengkap tidak ada yang tak di rumah. Kalau biasanya setiap
makan malam selalu ada yang kurang, entah itu Bang Ical atau pun Papa, tapi tidak dengan makan malam saat ini. Aku sangat senang karena moment seperti ini sangat jarang terjadi di keluarga kami karena banyaknya pekerjaan yang harus di kerjakan membuat Bang Ical
ataupun Papa pulang larut malam.

Aku menyantap makananku dengan lahap. Kegiatan makan malam kami sangat tenang, kami tak ada yang berbicara hanya suara dentingan sendoklah yang terdengar. Hingga acara makan malam pun selesai. Aku dan Mama merapikan meja, sementara Papa dan Bang Ical pergi ke ruang tv.

"Kalau sudah selesai, Mama sama Udy ke ruang tv, ya," ucap Papa sebelum pergi.

Aku tersenyum senang. Malam ini sepertinya telah dipersiapakan sebelumnya. Malam
di mana kami berkumpul bersama; makan malam, menonton tv sambil tertawa bersama, atau bahkan menceritakan kejadian yang kami alami.

Di keluargaku akan ada saat-saat seperti ini yang bahkan telah menjadi kewajiban kami. Dan ini dilakukan setiap sebulan sekali. Hal ini sangat diperlukan oleh setiap keluarga, selain untuk menikmati kebersamaan yang sempat terlewatkan hal ini juga membuat kita tahu
masalah atau hal-hal yang di alami oleh keluarga yang kemungkinan sangat ingin mereka ceritakan tapi harus tertunda hanya karena masalah waktu yang habis untuk bekerja.

Aku menyimpan piring di rak. Tadi Mama yang mencuci piring, sementara aku
bertugas melap meja.

"Udy, udah selesai?" tanya Mama.

"Belum, Ma. Sedikit lagi," jawabku.

Setelah menjawab pertanyaan Mama, pekerjaanku selesai. Aku berjalan menyusul Mama, tapi tiba-tiba langkahku terhenti, aku teringat akan Fahmi kaarena sejak sore aku tidak mengabarinya, bahkan sampai malam ini.

Aku ingin mengambil handphone tapi aku teringat bahwa setiap perkumpulan keluaraga kami tak ada yang boleh membawa handphone. Karena waktu itu memang telah di khususkan untuk keluarga, tak ada yang boleh melakukan hal lain apapun itu.

Aku mencoba tenang dan berpikir untuk ke kamar terlebih dahulu seenggaknya
mengirimkan pesan kepada Fahmi bahwa malam ini tak bisa berbalas pesan dengannya dikarenakan ada acara keluarga. Namun, baru saja kakiku mau melangkah tiba-tiba suara
Mama menghentikanku.

"Udy, yuk ke ruang tv," ucap Mama.
Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal.

"Emm, Ma, Udyy ke kamar dulu, ya. Soalnya buku Udy masih berantakan di tempat tidur," alibiku.

"Itu kan bisa nanti, sayang. Sudah yuk, nanti Papa kamu marah," ucap Mama lagi.

Aku tak bisa membantah ucapan Mama dan dengan terpaksa aku mengikuti Mama ke ruang tv.

"Udy, gimana sekolah kamu?" tanya Papa saat aku dan Mama telah bergabung.

"Baik kok, Pa," jawabku sekenanya.
Papa tersenyum.

"Kamu, Cal gimana kuliahnya?" tanya Papa pada Bang Ical.

"Lancar, Pa," jawab Bang Ical.

"Sykurlah. Kalian berdua gak ada masalah, kan?" tanya Papa lagi.

Aku dan Bang Ical menggeleng bersamaan.

"Gak ada yang mau cerita, ni?" tanya Mama.

"Iya, benar. Udy, gak mau cerita? Biasanya kalau sudah ngumpul gini kamu yang
paling cerewet." Papa benar. Biasanya aku yang akan selalu bercerita, sementara yang lain mendengarkan. Tapi, saat ini apa yang harus ku ceritakan? Menceritakan tentang hubunganku dengan Fahmi? Ah, itu sama saja seperti membangunkan singa yang sedang tidur. Membahayakanku.

"Emm, lagi gak ada bahan cerita, Pa," alibiku.

"Pa, Ical mau cerita." Bang Ical terlihat sangat antusias mengucapkannya. Sontak, Aku, Papa, dan Mama merubah posisi duduk kami menjadi berhadapan dengan Bang Ical.

Mata kami menatap Bang Ical serius seolah memintanya untuk segera berbicara. Bang Ical menarik napas pelan, kemudian mulai membuka suara.

"Kemarin, Ical ngeliat anak SMA boncengan sama pacarnya naik motor. tahu gak? Mereka tu lengket banget
udah kaya suami istri. Yang Ical gak habis pikir itu anak sekolah kok gak malu, ya? Di tempat umum pelukan, di tambah lagi mereka masih menggunakan seragam sekolah."

Aku tersentak. Apa maksud Bang Ical? Ia seperti menyindirku. Ah, tapi gak mungkin. Selama aku pacaran dengan Fahmi aku tak pernah memeluknya, bahkan ketika dibonceng dengan motor aku selalu memegang bangku bagian belakang motor atau sesekali memegang
bahunya yang sering di protesnya bahwa ia bukan tukang ojek.

"Udy, kamu jangan kaya gitu, ya. Itu contoh yang gak bagus."

"..."

[] [] [] []

Aku lagi tak bisa berpikir. Yang jelas pada saat itu aku sangat tersindir.


BACKSTREET (COMPLETED)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang