Empat belas

24.2K 1.5K 353
                                    

Hai, aku harap kalian baca note ini.

Aku mohon jangan ada yang bilang lupa sama jalan ceritanya, karena jujur aja itu buat aku down setiap keinginan/mood nulis aku udah mulai muncul.

Jadi kalau kalian mulai lupa cerita ini, baca dari awal yang kalau sayang aku. Hehheh

Jangan lupa vote dan komen ya 😘😘

Happy reading :)

***

Tujuh tahun lalu.

Kevin suka suara hujan. Rintik merdu yang terdengar ketika jutaan tetes air menerpa atap, mengalir, lalu jatuh dan menciptakan genangan kecil di halaman rumahnya, lalu genangan tersebut kembali tertetesi oleh air dan menciptakan satu lagi melodi yang berbeda, yang saling melengkapi satu sama lain, di balik suara gemuruh angin.

Dari balik balkon kamarnya, ia menikmati semua proses itu.

Satu tangannya terjulur ke depan, berusaha meraih rintik air yang lewat, namun selalu gagal tersentuh. Terlalu jauh dari gapaian tangan mungilnya itu.

Kevin lantas berbalik dan menghampiri mamanya yang duduk di bangku balkon, yang masih menatap majalah politik dengan wajah serius. Di sampul majalah, dahi Kevin mengerut menemukan wajah papanya terpampang di sana. Kevin kemudian membungkuk, ujung jemarinya kemudian mengetuk wajah papanya pada pemukaan kertas yang mengkilap itu

"Ini Papa, Ma?" tanyanya tak percaya.

"Hmmm...."

Anak itu manggut-manggut. Dia lalu teringat kembali tujuan utamanya menghampiri Rania, Mamanya.

"Mama, Kevin boleh nggak main ujanan?" tanya Kevin ragu. Ia sebenarnya sudah pesimis duluan mengingat betapa Mamanya adalah orang yang menjunjung tinggi nilai kebersihan.

Dan benar saja, wanita itu menggeleng tanpa mengalihkan perhatiannya dari majalah.

"Jangan macem-macem deh. Nanti sakit!" katanya dengan nada mengancam yang pekat. Kevin mendengus. Tuh kan bener!

"Pakai payung deh. Boleh ya?" tawar Kevin, kali ini dengan wajah penuh harap.

Rania akhirnya mengalihkan pandangannya dari rubik opini yang sejak tadi ia baca. Ditatapnya anak sematawayangnya itu lembut.

"Mau ngapain? Besok kan udah musim ujian, kalau Kevin sakit gimana hayo? Kalau ikut ujian susulan sendirian emang mau?"

Kevin kecil menggeleng. 

Rania tersenyum. "Yaudah, enggak usah ya. Lagian di luar dingin, nanti Kevin pilek, nggak bisa napas, terus mati, mau?"

Kevin melotot, terlihat kesal. "Nggak mau! Tapi Kevin mau ujan-ujan, Ma!"

"Di rumah aja, pakai shower, enak anget." Rania semakin jadi menggoda Kevin. Ia terkekeh. Melihat wajah marah Kevin kadang jadi hal paling menyenangkan untuknya. 

"MAMA! Ih! Itu mah mandi, bukan ujan-ujanan!"

"Sama aja kali. Air-air juga yang turun dari atas."

"Ah bodo ah! Pokoknya Kevin mau main ujanan titik!"

Belum sempat Rania menjawab, Kevin sudah lebih dulu berlari masuk ke dalam rumah dan tiba-tiba saja muncul di teras depan sambil melambai ke arahnya. 

"Mama, Kevin jalan dulu."

Tetes air hujan perlahan jatuh di puncak kepala anak itu. 

"Pake payung! Kevin, pake payung! PAKAI PAYUNG!"

Boyfriend With BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang