Lilac 🌷

2.4K 413 12
                                    

Hinata terduduk di depan pintu apartemennya. Sebelah tangannya memegang tepat di depan dada tempat jantungnya berada. Debarannya tidak normal.

Shikamaru benar-benar membuatnya kehilangan kekuatan.

"Hinata-nee." Hanabi mendekati Hinata yang nampak linglung dengan keadaannya sendiri, "Kau kenapa?"

Hinata menggeleng dan mulai berdiri setelah dirasa tenaganya kembali ada. Ia tidak ingin bercerita pada Hanabi perihal sikap tidak sopan dari tetangga mereka.

"Tadi kaa-san menelpon." Hanabi kembali ke meja belajarnya, "Katanya kita harus baik-baik dengan tuan Nara yang ada di depan ruangan kita."

Hinata mengerutkan keningnya. Gerakan tangannya yang akan membuka pintu kamar jadi terhenti, "Nara?" ulangnya tidak percaya.

Hanabi mengangguk, "Iya. Nara yang ada di kamar depan."

"Dari mana kaa-san tahu kalau kita bertetangga dengan Nara?"

Hanabi mengendikkan bahunya, "Kaa-san juga tidak mau jawab waktu aku tanya begitu."

Hinata menghela napasnya berat. Pasti tuan sok tampan itu sudah bertindak jauh. Ahk, Hinata mengusap wajahnya kasar, ia bahkan masih SMA. Apa si Nara itu tidak bisa menunggu hingga ia lulus dulu.

Eh?

Hinata berdecak kesal dengan pemikirannya sendiri. Ia menghentak kakinya dan masuk kamar dengan perasaan jengkel.

Pikiran apa yang baru saja mampir di otaknya?

:
:
:

++ ヽ(*⌒∇⌒*)ノ ++

:
:
:

Hinata mengerang frustasi dalam hati. Bisa-bisanya saat akan berangkat bekerja pun ia bertemu dengan Shikamaru di depan pintu.

Mengendalikan detak jantungnya yang mulai menggila, Hinata mencoba cuek dan berlalu begitu saja seperti tadi pagi. Ia tidak ingin Shikamaru besar kepala hanya karena bisa mendengar degup jantungnya.

"Aku serius tentang ingin membiayaimu seumur hidup, Hinata." ujar Shikamaru memulai obrolan mereka. Sambil menunggu pintu lift terbuka, rasanya lebih baik mereka mengobrol ringan.

Hinata tidak menjawab. Ia pura-pura tidak dengar saja dan terus memainkan ponselnya —menggulir menu satu ke menu lainnya.

Shikamaru tersenyum samar, "Bekerjalah di tempatku, aku bisa membayarmu tiga kali lipat."

Tawaran yang bagus. Tapi Hinata tahu bahwa itu hanya jebakan agar ia mau menikah dengannya. Ugh, Hinata masih ingin sekolah.

"Lima kali lipat."

Hinata mendongak tidak percaya. Lima kali lipat katanya, "Eh?"

Shikamaru menarik tangan ramping itu saat pintu lift terbuka, "Kita harus bicara serius tentang ini."

"A-aku tidak mau."

"Kenapa?"

"Hng..." Hinata memikirkan alasan paling tepat untuk menolaknya. Tapi sebanyak apapun alasan yang akan ia ungkap, tiba-tiba melebur begitu saja.

Shikamaru menariknya lembut. Mendekapnya dengan sayang meskipun Hinata tak membalas, "Apa aku kurang tampan? Atau terlalu tua? Apa kau sudah punya pacar? Atau apakah kau tidak memiliki perasaan apapun terhadapku?"

Hinata memejamkan matanya. Perasaan, ya? Ia punya tentu saja. Tapi perasaan itu sama dengan perasaan yang ia berikan pada Neji. Perasaan sayang adik kepada kakaknya. Tidak lebih.

Atau belum. Ah, entahlah.

"Dengar, Hinata." Shikamaru membelai rambut panjang Hinata dan menumpukan dagunya pada kepala gadis itu, "Kita memang baru kenal. Tapi aku sudah memperhatikanmu sejak lama."

"Stalker."

Shikamaru tersenyum mendengar respon Hinata, "Anggaplah begitu." ia melepas pelukannya, merunduk untuk mensejajarkan wajah mereka, "Aku serius dengan ucapanku. Aku akan menunggu hingga kau lulus SMA."

Hinata diam. Manik mata lavendernya fokus pada wajah tampan orang di depannya. Degup jantungnya kembali menggila.

"Kita mulai dari awal sama-sama, ya." pinta Shikamaru dan di akhiri dengan sebuah kecupan pada kening Hinata.

UMBRELLA [ShikaHina]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang