Empat

56.6K 1.3K 50
                                    

Cerita ini sudah ditulis ulang. Harap maklum apabila banyak komentar yang tidak sinkron.

♡♡♡

Mulut Nata tanpa henti bergerak, mengunyah keripik kentang rasa BBQ favoritnya. Sementara matanya mengamati satu per satu kendaraan yang lewat di jalan raya dari teras minimarket dekat kompleks rumahnya. Dia duduk santai, bersandar, sambil menikmati udara panas kota megapolitan, bahkan bersenandung pelan.

Getaran di saku rok abu-abu membuat aktivitasnya--yang mencolok di tengah-tengah kesibukan dunia--itu tertunda.

"Waktunya pulang," gumamnya ketika melihat notifikasi dari alarm yang dia pasang.

Tadi, Galih menurunkannya di depan gerbang kompleks, dan sekali lagi Nata harus mengangkat tangannya sebelum cowok itu mau menghilang dengan motor mahalnya. Galih itu seperti sosok makhluk abstrak yang bertugas menguji kesabaran manusia-manusia di dunia. Untung saja, pikir Nata, Indonesia melarang pembunuhan.

Karena belum sampai jam seharusnya dia pulang, Nata memutuskan untuk menunggu di minimarket terdekat. Dia sedang tidak ingin mendengarkan omelan, apalagi dibanding-bandingkan. Setidaknya, jangan hari ini.

Membuang bungkus kosong keripik kentang ke tempat sampah, Nata mulai berjalan ke rumah. Dia tadi menunggu cukup lama, karena biasanya pun dia akan pulang terlambat. Tidak ada alasan khusus sebenarnya. Dia hanya suka atmosfer di luar rumah yang bebas dan 'menerima'.

"Nata."

Seruan itu terdengar begitu si pemilik nama memasuki rumah. Nata menghela napas, memaksakan senyum yang bila dipadukan dengan tatapan jengkelnya tampak sangat tidak laras.

"Iya. Kenapa, Ma?" Dia berjalan menuju dapur yang memang langsung terhubung dengan ruang tamu. Tampak punggung seorang wanita paruh baya dengan celemeknya sibuk dengan penggorengan dan spatula.

"Kamu tolong jemurin baju di mesin cuci. Udah selesai dari tadi, tinggal jemur aja," kata Mama Nata tanpa menoleh.

Nata mengernyit refleks. "Bukannya itu tugas Kak Sindi?"

"Kakakmu ada ujian besok. Jadi, dia harus belajar."

Hampir saja Nata terbahak. "Terus, aku nggak perlu belajar gitu?"

Mama Nata meliriknya sebentar, tampak tak senang. "Kamu bukan anak-anak lagi. Apa salahnya bantu saudaramu sendiri?"

"Tapi, bukannya Mama sendiri yang bilang untuk bagi tugas?" Nata tak ingin menyerah.

"Nata." Mama Nata berujar penuh penekanan.

"Oke." Nata langsung berbalik setelah mengucapkan satu kata tersebut dengan nada datar. Dia merasa kesal. Sangat kesal.

Bagaimana tidak kesal? Tugas Nata itu menyapu, mengepel, dan membersihkan halaman. Belum lagi mamanya juga sering menyuruh Nata membantu memasak. Hanya Nata. Sedangkan Sindi, kakaknya, cuma dapat tugas mencuci--itu pun di mesin cuci--dan menjemur pakaian. Apa salah kalau Nata kesal?

Nata terkekeh sarkas, meratapi dirinya sendiri yang konyol sampai ekstrem. Ini bukan hal baru, tapi, kenapa juga dia masih terganggu?

"Cukup, Nata," katanya pada diri sendiri sambil mulai memindah baju-baju selesai cuci ke ember. "Harus cepet selesai, biar bisa ngerjain tugas-tugas yang seambrek."

Senior MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang