Sepuluh

32.6K 1K 62
                                    

Cerita ini sudah ditulis ulang. Harap maklum apabila ada komentar yang tidak sinkron.

♡♡♡

Nata benar-benar tak tahu. Entah itu karena Alin--yang duduk dua bangku di belakangnya--memakai jepit rambut berwarna merah dan bukannya hitam seperti biasa, atau karena dinding bagian belakang kelas memiliki aksesoris baru yang digantung, berupa sapu--yang dibeli Ana, selaku bendahara kelas, kemarin; entah karena apa, dia terus saja melirik ke belakang. Matanya menyipit. Sekali lagi melirik ke belakang, memeriksa, kali ini lebih lama. Dia kini tahu.

Semua ini karena Galih.

Tepat dibelakangnya adalah bangku milik Galih, yang sedari awal pelajaran dimulai masih kosong. Tasnya jelas di atas meja. Mengingat pandangan Galih pagi tadi, Nata kian gelisah. Apa yang salah dengan cowok itu? Walaupun Nata akui, diantara mereka tiada hari terlewati tanpa pertengkaran, dia terlanjur terbiasa dengan tingkah usil Galih yang selalu berhasil membuatnya mendidih. Tapi, hari ini hal-hal jelas berbeda.

Awalnya, Nata mencoba untuk tidak peduli. Ternyata hal itu cukup sulit. Dia biasa menguncir ulang rambutnya hingga dua kali dalam satu jam pelajaran. Tapi, kali ini, jam pelajaran pertama akan berakhir dan rambutnya masih rapi seperti pagi tadi.

Apa dia melakukan kesalahan?

Nata mencoba mengingat apa saja yang terjadi kemarin, memeriksa hal-hal yang mungkin saja menjadi penyebab sikap Galih pagi ini, tapi, sepertinya memang tak ada. Kemarin dia terlalu sibuk dengan urusan Brian, dan tak terlalu memperhatikan hal lain. Kalau bukan karena sesuatu yang Nata lakukan, lalu karena apa?

Embusan napas lolos dari bibir Nata. Siapa bilang cewek susah dimengerti? Kenyataannya cowok bahkan lebih susah!

"Nata!"

Nata tersentak dari lamunannya ketika mendengar namanya disebut keras-keras. Segera mengangkat kepalanya, dia langsung bertemu tatapan murka milik Bu Imelda. Nata mengutuk dalam hati.

Seharusnya Bu Imelda tak mengajar kelasnya hari ini. Hanya saja, takdir memang selalu mengejutkan. Ini bisa disebut sebagai salah satu dari banyak hari sial Nata. Kenyataannya, guru yang seharusnya mengajar tidak datang, lalu digantikan Bu Imelda yang kebetulan merupakan guru piket. Sungguh ketidakberuntungan yang nyata!

Ditambah lagi, dia melamun dibawah pengawasannya! Nata jadi bertanya-tanya, apakah dirinya sudah bosan hidup?!

"Saya perhatikan dari tadi kamu terus melirik ke belakang!"

Nata menunduk seketika setelah satu kalimat memalukan dari Bu Imelda. Dia bisa merasakan Ria disampingnya menyenggol lengannya. Sial. Bisa-bisa hal ini jadi gosip lagi.

Mengumpulkan segala keberanian miliknya, Nata mendongak. "Saya sakit leher, Bu. Jadi, kurang nyaman kalau diam terus."

Mati! kutuk Nata dalam hati pada dirinya sendiri. Satu hal yang paling dibenci Bu Imelda--dan semua orang tahu itu--adalah menjawab ketika dimarahi, yang baru saja Nata lakukan.

"Diam!!" Bu Imelda melotot lebih mengerikan, membuat Nata menunduk ketakutan. "Kalau sakit, ya, ke UKS! Atau tidak perlu masuk sekalian! Dari pada mengganggu pelajaran di kelas! Kamu merasa sudah pintar, ha?!"

Aduh, Nata meratap. Dia benar-benar sial kali ini. Tamat sudah riwayatnya.

Tok. Tok. Tok.

Semua menoleh ke pintu, menatap ngeri pada siapapun itu di balik pintu yang mencoba mengundang celaka pada dirinya sendiri. Nata pun tak kalah penasaran. Ketika pintu terbuka, tampak wajah tampan milik Galih, seketika Nata melebarkan mata. Bocah bego, kutuknya dalam hati. Ternyata Galih lebih sial, pikirnya. Memang ini bukan pertama kalinya Galih melewatkan pelajaran. Tapi, Nata melirik ke depan, pada Bu Imelda yang siap meledak kapan saja, dan dia tersenyum pahit, kali ini memang bukan keberuntungan Galih.

"Keterlaluan!!" geram Bu Imelda. Kemarahannya sudah sampai ke ubun-ubun. Jam pelajaran sudah akan selesai, tapi, anak ini dengan percaya dirinya baru datang ke kelas?

Nata mengecilkan dirinya, mencoba mengurangi rasa keberadaan. Siapa tahu, mungkin saja karena Galih Bu Imelda akan melupakan dirinya.

"Kalian berdua keterlaluan!! Menyepelekan pelajaran, iya?!" Bu Imelda menggebrak meja, memperkuat momentumnya. Nata menelan ludah, Bu Imelda masih mengingatnya! Mencoba mencari ketenangan, dia menoleh pada Ria yang terus menunduk dengan wajah pucat pasi. Memang, Ria paling takut pada Bu Imelda. Eh, tunggu, memangnya siapa yang tak takut? Dia bergidik.

"Anak-anak seperti kalian ini yang bikin negara kita tidak maju-maju! Kalian ini generasi penerus! Harusnya membanggakan, bukannya melakukan hal-hal memalukan seperti ini!" Bu Imelda mengela napas kuat-kuat, mencoba menenangkan diri. Berpikir hukuman apa yang cocok untuk anak-anak nakal zaman sekarang yang kebal dengan hukuman fisik alias tak kenal jera. "Sebagai hukuman, kalian berdua setelah ini ikut saya ke kelas sebelas IPA-1, biar kakak kelas kalian melihat bagaimana kelakuan adik kelas mereka."

Beberapa suara terkejut terdengar. Ini benar-benar luar biasa! Kelas yang disebut Bu Imelda adalah kelas Brian. Dan Nata akan dikirim ke sana! Ini bisa jadi berita hot!

Nata sendiri masih membeku, mencoba mencerna kalimat yang dia harap tak pernah Bu Imelda katakan. Dia akan dihukum di kelas Brian?! Sial! Dia kira dimarahi Bu Imelda adalah hal paling sial yang terjadi padanya, tapi, ternyata takdir masih saja mengejutkannya. Kenapa Tuhan?!

"Sekian pelajaran hari ini," tutup Bu Imelda. Dia langsung melangkah keluar kelas bersamaan dengan bel pergantian pelajaran berbunyi.

Nata segera mengekor ketika mendapat pelototan dari Bu Imelda. Dia bahkan belum sempat mengatakan kata-kata terakhir pada teman-temannya. Yah, siapa yang tahu mungkin saja dia takkan kembali?

"Lo takut?" Galih memandangi Nata disebelahnya yang kini berekspresi pahit, seolah dia manusia paling sial di dunia. Dasar lebay, gumamnya dalam hati. Koridor benar-benar sepi, dan Bu Imelda beberapa meter di depan mereka. "Atau malu sama pacar lo?" Nada sinis di akhir kalimatnya tak dapat disembunyikan.

Nata mendongak, menatap wajah Galih yang sering kali membuat tangannya gatal ingin meninju. Tatapannya berubah rumit. Dia ingin bertanya tentang apa yang terjadi pagi ini, tapi, Galih di depannya tampak seperti biasa seolah-olah hal-hal tadi hanyalah ilusi. Saat ini wajah Galih songong seperti biasa, membangkitkan anarkisme dalam dirinya. Apalagi sindirannya barusan, Nata tak bisa lagi menahan. Tangannya melayang, dengan tak anggunnya memukul bahu Galih. "Ini semua gara-gara lo! Lo dari mana, sih, tadi?!"

Galih mengaduh mencoba menghindar dari pukulan yang akan kembali Nata layangkan. Mendengar pertanyaan Nata, karena alasan yang tidak dia mengerti, dia merasa ingin meledak. Menangkap tangan kecil Nata, dia menatap marah pada cewek itu. "Ngapain lo sok peduli?!"

Genggaman erat Galih membuat Nata membeku. Dia tak tahu harus menjawab apa untuk menanggapi pertanyaan Galih yang datang tiba-tiba dan jelas kurang relevan. "Maksud lo?"

Mata Galih meredup. Dia mengalihkan pandangan dan berkata dengan acuh tak acuh, "Lupain." Kembali berjalan, dia tak melepaskan genggamannya pada tangan Nata. "Ayo, cepet! Lo mau Bu Imelda marah lagi?"

Sekarang, Nata benar-benar yakin, cowok ternyata lebih rumit dari cewek. Dia menggelengkan kepala, tak menolak ketika Galih menyeretnya.

Tapi, ketenangannya hilang saat mereka sampai di lantai dua, tepat di depan sebuah pintu yang familiar. Tentu saja, familiar. Di tengah-tengah jam pelajaran dia dan Ria sering izin ke toilet, dan dengan paksaannya, mereka selalu menuju toilet lantai dua. Alasannya sederhana, Nata hanya ingin mengintip Brian di kelasnya, walau dibanyak kesempatan dia hanya bisa melihat pintu ini. Sering kali dia membayangkan masuk kelas ini untuk mengantar makan siang pada Brian atau hal-hal romansa lainnya.

Tapi, saat ini.. dia hanya ingin berlari jauh-jauh.

♡♡♡

Tiba-tiba Galih kelihatan keren.
♡.♡

Senior MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang