Delapan Belas

10.1K 534 165
                                    

Nata sangat penasaran, tiang atau tembok mana yang berhasil menggetok kepala Brian sampai-sampai otaknya geser entah dengan kemiringan berapa derajat.


Brian jadi gila!

Nata bersikap cukup baik dengan menyuruh Brian berhenti di gerbang komunitas. Tapi, siapa yang tahu Brian bakal berlagak tuli dan mengancam akan memutari kompleks bahkan puluhan kali, sampai menemukan rumahnya kalau dirinya masih bungkam.

Sebenarnya, Brian sudah pernah melihat data diri Nata. Tapi, entah cewek itu sengaja atau tidak, dia hanya menulis nama kompleks perumahannya tanpa nomor rumah. Sial. Sepertinya bagian administrasi perlu ditegur, karena membiarkan alamat asal-asalan semacam itu lolos, pikir Brian.

"Oke, oke!" teriak Nata ketika Brian hampir selesai dengan putaran keduanya. Malu setengah mati ketika tetangga yang dikenalnya melempar senyum penuh arti. Bisa dibilang ini adalah kali pertama terlihat jalan bareng cowok. Jadi, mungkin.. begitulah.

Sialan! Ya ampun! Malu-maluin! Dasar Brian mesum gila!

"Perempatan depan, belok kanan. Rumah kedua di kiri jalan." Nata menginstruksikan dengan enggan. Dia ingin mengumpat keras-keras, tapi, batal ketika melihat sosok Brian dari belakang. Bahkan punggungnya kelihatan tampan.

Jadi, tiap kali Nata bersiap mengumpati Brian, dia justru berakhir mengagumi bagian belakang cowok itu yang, di matanya, tetap terlihat tampan.

Serius, fangirling adalah gejala penyakit tidak mematikan yang sangat sulit disembuhkan. Nata tahu sendiri.

"Sampai." Brian tersenyum penuh kemenangan, ketika motornya berhenti tepat di depan rumah bercat putih.

Nata mendecih sinis sambil turun dari motor.

Mendengarnya, Brian kesal. Memang cewek tak tahu terima kasih! "Lo, tu--"

Dering telepon berbunyi, menghentikan hinaan yang akan Brian lontarkan. Tambah kesal, dia segera menjawab tanpa melirik nama si penelepon. "Halo, siapa?" tanyanya dingin.

Entah apa yang dikatakan pihak seberang, ekspresi Brian seketika berubah. Dia terlihat masih kesal, tapi, tidak lagi dingin. "Ini lagi. Aku udah bilang nggak mau kemarin."

"Serius, aku nggak bohong, Bun." Brian memutar bola matanya, sangat ingin menutup telepon kalau saja dia belum tahu kisah Malin Kundang.

"Oke, bye." Tanpa menunda Brian segera memutus sambungan, takut bundanya melanjutkan ceramah.

"Dari Ibu lo?" Nata bertanya penasaran. Dia tidak pernah mengira Brian tampak begitu lembut pada ibunya. Mengabaikan caranya memutus sambungan telepon tanpa ampun, Nata bisa melihat kelembutan dibalik nada suaranya yang kesal. Bukannya nada dingin atau serius seperti biasa. Walaupun akhir-akhir ini, Nata memang jarang melihat sisi Brian yang biasa itu.

Brian bersenandung, mengiyakan. Tidak berniat menjelaskan. Dia melirik lingkungan sekitar. Bangunan rumah di sini memiliki tipe yang sama, perbedaan mencolok ada pada catnya. Pengecualian beberapa rumah yang memang sudah direnovasi. Rumah milik Nata belum direnovasi, tapi, jajaran rapi bunga-bunga yang menghiasi teras membuatnya terlihat berbeda.

"Pembantu lo rajin banget." Dia berkata refleks sambil mengarahkan dagunya pada teras yang kelihatan cerah.

Nata balas menatap setelah berhasil melepas helm tanpa bantuan Brian, sayangnya. Dia tadi terlalu fokus mengamati cowok itu telepon. "Gue nggak punya pembantu."

Bukannya Papa pelit. Mama yang menolak menyewa pembantu. Dia merasa bisa menyelesaikan urusan rumah tangga sehari-sehari. Tentu saja, ada Nata yang selalu membantu di sini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senior MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang