Tujuh

40.1K 1.2K 34
                                    

Cerita ini sudah ditulis ulang. Harap maklum apabila banyak komentar yang tidak sinkron.

♡♡♡

Alarmnya bekerja. Nata kembali tepat setelah Bu Imelda menghilang di koridor. Untung, batinnya. Dia memasuki kelas dan langsung mendapat tatapan dari seisi ruangan.

Nata berdecak lalu berkacak pinggang. "Apa? Baru pertama kali lihat cewek cakep?"

Sorakan keras terdengar dari seluruh penjuru kelas.

"Kok lo baru ke kelas, Nat?" tanya Ria ketika Nata sudah duduk manis di kursi sebelahnya. Ana dan Sela berbalik ke belakang, ikut memandangi Nata. Itu adalah pertanyaan yang semua anak ingin tanyakan.

"Gue tidur di UKS dulu, dong." Nata menjawab dengan bangga. Oh, siapa juga yang tidak bangga kalau bisa melewati omelan sumbang Bu Imelda dan justru tidur nyenyak diatas ranjang empuk UKS?

"Sialan!" Galih menarik rambut kuncir kuda Nata yang terpampang tepat di hadapannya. "Kok lo nggak ngajak-ngajak gue, sih, sari kelapa?!"

"Aduh! Galih bego! Lepasin!" Nata merasakan nyeri di kulit kepalanya. Memang dasar Galih bencong, beraninya sama cewek.

Galih mendengus, tapi, tetap menurut melepaskan jambakannya pada rambut Nata. "Dasar nggak setia kawan!"

"Heh, alien Saturnus! Jangan banyak omong lo, ya! Siapa juga di kelas ini yang setia kawan?! Nggak ada! Gue sengsara, kalian pada ketawa!" Nata memuntahkan segala keluhan. Kalau saja Brian tak menghampirinya, mungkin dia akan menjalani hukuman seperti biasa, dan berakhir mandi pagi ronde kedua, dengan keringat tentunya.

"Jangan marah, dong, Nat. Lagian kita juga nggak bisa berbuat apa-apa." Ana mencoba menenangkan. Secara logika, memang tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk membantu Nata, mengingat pelajaran pertama adalah milik Bu Imelda.

"Iya. Lo nggak bisa nyalahin kita karena ketawa. Kan, emang lucu." Itu Sela dengan mulutnya yang memang 'apa adanya'.

Nata mencibir. Baru saja dia akan merincikan kesusahan yang telah dideritanya tadi, sebuah suara melengking menginterupsi.

"Gila!"

Semua kepala menoleh ke arah suara. Itu adalah Mimi, salah satu pentolan di kelas IPA-3 karena tampilannya yang menyamai artis ibukota.

Menyadari semua perhatian beralih padanya, Mimi segera menyodorkan ponselnya. Matanya fokus pada Nata sebelum bertanya, "Lo ada hubungan sama Kak Brian, Nat?"

Hening. Semua suara hilang tenggelam di tenggorokan.

"Anjir! Serius?!" Suara cowok mendahului memecahkan kesunyian. Seketika, kelas pun pecah.

"Apa? Kak Brian ketua kedisiplinan?"

"Kok bisa?"

"Mimpi Nata jadi nyata."

"Bagi-bagi resep pelet, dong, Nat!"

Kalimat terakhir yang entah dikatakan siapa, membuat Nata melotot kesal. "Diem!" Siapa juga yang mau melet cowok mesum kaya Brian?

"Gue nggak ada apa-apa sama Kak Brian," lanjut Nata setelah meredakan emosinya.

"Lah, terus ini apa?" Mimi mengguncang ponsel yang sedari tadi dia angkat tinggi-tinggi.

Nata menyipitkan mata pada layar ponsel yang cukup berjarak dari tempatnya. Itu foto dirinya dengan Brian, ketika Brian menyeretnya menuju ruang kedisiplinan. Walaupun agak kabur, tapi, orang-orang didalam foto masih bisa dikenali.

Nata kehilangan kata. Jantungnya sedikit berdebar. Apa foto itu benar-benar tersebar? Dia tidak tahu harus memberi penjelasan apa. Seharusnya, dia mengaku kalau Brian pacarnya, tapi, dia belum mencapai kesepakatan Brian. Jadi, sekarang dia benar-benar kebingungan. Tapi, kalau foto itu memang benar sudah tersebar, maka asumsi semua orang akan berada di jalur yang Nata inginkan. Dengan begini, kesepakatan akan lebih mudah terwujudkan.

Nata mengulum bibir.

"Kok lo diem? Jangan-jangan bener lagi, lo pacaran sama Kak Brian?"

Tidak tahu siapa yang berbicara, tapi, suara cewek itu berhasil menariknya kembali dari pikirannya. Dia segera menggeleng, yang berarti belum--itupun kalau ada yang mengerti isyaratnya. "Pas gue sembunyi, gue ketahuan Kak Brian. Terus diseret ke ruang kedisiplinan, deh."

"Gitu doang?" tanya Sela tak sabar.

Nata mengangguk dibawah tatapan penasaran seluruh kelas. Generasi kepo, gerutunya dalam hati.

"Lo nggak dihukum?" Ria yang semula masih speechless akhirnya bersuara.

"Nggak. Kak Brian cuma ngasih peringatan untuk nggak ngulang lagi."

"Cuma gitu? Ngapain juga Kak Brian ngelakuin hal nggak berguna kaya gitu?"

"Ya, mana gue tahu, ih! Jangan tanya gue! Dari pada mikirin hal nggak jelas, mending contekin gue PR bahasa Indonesia!"

Mendengar kalimat terakhir Nata, semua segera bubar setelah menyoraki gadis tak tahu malu itu. Nata, si objek sorakan, tak merasa keberatan, justru senang.

Memang abnormal.

Tak ada yang memperhatikan dua orang yang sedari tadi terdiam, terjebak dalam pemikiran mereka masing-masing.

♡♡♡

Bel istirahat berbunyi dan Nata tiba-tiba linglung sendiri. Ini berarti dia harus bertemu Brian lagi? Nata mendesah. Itu bukan hal yang baik untuk jantungnya--yang selalu berdebar keras tanpa jeda. Ditambah lagi, sekarang dia harus merasa cemas juga menantikan jawaban Brian, yang akan menentukan wajah masa depannya di hadapan Sindi.

"Nat!"

Tubuh Nata digoncang, mau tak mau membuat cewek itu kembali sadar. "Kenapa, kenapa?" tanyanya sedikit linglung.

"Lo kenapa, sih?" Rea yang sudah berdiri dan bersiap meluncur ke kantin itu berkacak pinggang, menghadapi teman sebangkunya yang seolah lupa kenyataan. "Lo nggak mau ke kantin?" tanyanya untuk yang ke sekian kali. Bedanya, kali ini yang diajak bicara akhirnya merespons juga.

"Iya, nih! Gue laper tahu, Nat! Cepetan elah!" Sela menghentakkan kakinya, tak sabar. Sial, dia belum sarapan tadi.

"Lo sakit, Nat?" Ana akhirnya bersuara. Di kelas tinggal mereka berempat. Yang lain sudah berhambur tepat setelah bel, sedangkan mereka tertahan karena Nata yang tenggelam dalam lamunan entah-apa miliknya. Ana jadi sedikit khawatir, karena Nata bukan tipe pemikir. Apa Nata punya masalah?

"Nggak, nggak," jawab Nata buru-buru. Dia segera berdiri. "Ayo ke kantin. Kasihan dunia ini kalau harus denger Sela melolong." Nata terkikik saat kabur dari sapuan tangan ringan Sela.

"Sialan! Sini lo kalau berani!"

"Ampun, Bos! Ampun! Haha." Nata berlari sepanjang koridor dengan Sela yang membuntuti bagai Valentino Rossi. Nata harus mengakui kalau Sela memang lincah. Dia saja, yang biasa dipuji Pak Ozi karena jago lari (dan hanya itu), sampai kewalahan. Apa ini efek kelaparan, sehingga Sela jadi lebih beringas?

Beberapa kali menoleh ke belakang sambil tertawa tiap kali Sela mengumpat, tanpa diduga Nata menabrak seseorang di hadapannya.

"Ah!!"

Tabrakan yang cukup keras menghantarkan Nata jatuh ke lantai dengan kuat.

Sela tertawa dari belakang. "Rasain! Kualat lo, Nat! Makanya--" Kata-katanya terhenti saat dia mengetahui siapa objek tabrakan Nata. Dia menelan ludah.

Ria dan Ana yang sedari tadi berdecak dan mengikuti di belakang pun mendekat buru-buru ketika tahu ada sesuatu yang salah terjadi. Mereka mematung ketika melihat seseorang yang sekarang berdiri menjulang di hadapan Nata, yang masih bersimpuh di lantai.

Nata--yang mendengar suara sumbang Sela sedang berada dalam suasana hari yang kian bertambah buruk--mendongak, siap mengumpat atau apa pun yang bisa meredakan perasaan kesalnya. Tapi, rahangnya terkatup ketika mengetahui siapa yang sudah menyebabkan kejatuhannya.

Itu Brian, yang sedang menatapnya dengan pandangan dingin dan ekspresi datar biasa miliknya. Jantung Nata berdebar keras tanpa aba-aba.

Dia tiba-tiba mengerti arti pepatah 'pucuk dicinta ulam pun tiba'.

♡♡♡

Sorry, ini malem Sabtu, bukan malem Jum'at. Aku lupa update kemarin. 🙃🙃

Senior MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang