Delapan

40.4K 1.2K 80
                                    

Cerita ini sudah ditulis ulang. Harap maklum apabila ada komentar yang tidak sinkron.

♡♡♡

Nata tidak tahu apa yang terjadi sekarang. Sedari tadi di atas kepalanya seolah ada lingkaran berputar-putar; tanda otaknya sedang mencoba memproses sesuatu. Tapi, waktu sudah berjalan cukup lama dan gerakan lingkaran itu belum juga berhenti.

Nata mengerjap beberapa kali, sayangnya tiap kali matanya terbuka, sosok yang dia pikir sekedar halusinasi dan akan lenyap, ternyata masih jelas tampak.

"Nat." Ria menyenggol sembari berbisik pada Nata yang tampaknya tak sadar sepenuhnya. Cewek itu tampak linglung. "Makan itu bakso lo! Jangan liatin Kak Brian terus!" Sekali lagi dia berbisik, lebih pelan, takut objek pembicaraan yang sekarang duduk di hadapan mereka--empat serangkai--dan fokus makan roti lapis itu mendengar.

Nata segera sadar. Dia menoleh ke kanan-kiri, menemukan Ria di sebelah kanannya dan Ana serta Sela di sebelah kiri yang biasa heboh sendiri sekarang seolah tenggelam dalam lautan sunyi. Dia menelan ludah, mengalihkan kembali pandangannya ke depan. Itu Brian. Iya, Brian si pangeran impiannya. Yang tadi tak sengaja menabraknya lalu mengajaknya dan teman-temannya makan di kantin--yang katanya sebagai permintaan maaf.

Jujur, Nata tidak percaya sama sekali dengan motif berbudi luhurnya itu. Bagaimana dia bisa percaya kalau saat mengatakannya saja Brian masih dengan sikap dan wajah kedinginan khasnya? Tanpa senyum. Sama sekali.

Dan juga, jangan lupakan kejadian antara mereka sebelumnya.

Sialnya, Nata--apalagi ketiga temannya--tak mampu menolak ajakan Brian yang jelas-jelas tidak murni. Ini seperti berjalan suka rela ke hutan lebat penuh jebakan tersembunyi.

Menundukkan kepala Nata mulai fokus pada bakso di hadapannya. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri, merasakan tatapan membara dari berbagai sisi. Lewat ekor matanya dia mengintip, dan mendapati berbagai pasang mata cewek-cewek itu mengintainya dan teman-temannya bagai mangsa. Bahkan, ada Della, si ratu bully, dan antek-anteknya.

Jantung Nata tiba-tiba berpacu. Refleks, dia berdiri dari kursi, mengabaikan bakso yang bahkan belum dia makan setengahnya. Ternyata gerakan tiba-tiba darinya itu menarik perhatian seluruh mata, bukan hanya orang-orang di mejanya.

Nata gelagapan. "Kak.. Kak Brian, kita harus balik sekarang." Matanya berkedip pada ketiga temannya, memberi kode. "Ada kerja kelompok. Makasih traktirannya!" Dia sudah berbalik, dalam pikirannya hanya ada satu kata; lari. Nyawanya lebih berharga. Masa bodo dengan harga diri Brian yang mungkin terluka.

Tapi, jalannya realita terkadang tak sesuai rencana.

Dengan cepat tangan Brian menangkap lengan cewek itu, Nata, yang mencoba melarikan diri bagai gembel dikejar satpol PP. "Bakso lo belum habis," ucapnya ringan, masih dengan suara datar khasnya. Perbedaannya--yang mungkin, tak ada seorangpun yang dapat melihatnya--hanyalah sebelah sudut bibirnya sedikit terangkat. Dia dalam suasana hati yang baik.

"Nggak!" Tanpa sadar, Nata menghempaskan tangan Brian cepat-cepat. "Gue lagi diet, Kak. Nggak apa-apa, bener, deh." Dia mempercepat gerakannya, bahkan berharap dapat menghilang sekarang saja. Rasanya dia seolah terbakar karena tatapan leser para cewek itu.

Sial, umpat Nata dalam hati. Berpikir kalau sekarang Cessie yang sedekat ini dengan Brian, mana berani mereka menatap seram begitu? Mentang-mentang ini dirinya, Nata, cewek yang bahkan mungkin mereka tak kenal namanya, mereka mau bertindak semena-mena!

Senior MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang