Lima

49.9K 1.4K 78
                                    

Cerita ini sudah ditulis ulang. Harap maklum apabila banyak komentar yang tidak sinkron.

♡♡♡

Karena konfrontasi dengan Sindi tadi malam yang berakhir dengan kebohongan luar biasa yang dia lontarkan, Nata jadi susah tidur semalaman.

"Kamu kelihatan pucat, Nat. Sakit?" tanya mamanya ketika keluarga itu berkumpul sarapan bersama.

Belum sempat Nata membalas, suara mamanya kembali terdengar. "Kalau sakit, sana ambil obat di kotak P3K." Kemudian Mama melanjutkan makannya. Begitu saja.

Di seberang Nata, bibir Sindi terangkat sinis. Entah ejekan untuk apalagi kali ini.

Nata menghela napas. Kemarin lusa, kakaknya, Sindi, mengeluh sakit perut dan mamanya langsung panik, sampai-sampai nekat membawanya ke rumah sakit. Padahal, yang Sindi rasakan hanyalah efek dari makan kekenyangan.

Jadi, apa sekarang kalian tahu apa yang tengah Nata rasakan?

Pada awalnya, sejak Nata sadar perbedaan ini, semua terasa berat. Dia menangis setiap malam, tanpa ada yang mengetahui. Bahkan kalaupun ada yang tahu, siapa juga yang akan peduli? Tapi, ada yang pernah mengatakan 'waktu adalah obat semua penyakit', dan itu adalah kebenaran. Bukan hanya 'cinta ada karena terbiasa', tapi juga 'penerimaan ada karena terbiasa'.

Lagi pula, dia bisa apa?

"Ma, kapan Papa pulang?" Itu Sindi yang bertanya dengan suara manjanya.

Mama tersenyum, memanjakan. "Akhir pekan ini Papa pulang."

Sendok makan Nata berhenti bergerak. Papa pulang akhir pekan? Ini hari Rabu. Tanpa sadar satu sudut bibirnya terangkat. Di rumah ini hanya papanya yang memberikan rasa 'penerimaan'. Dan sayangnya, Papa bekerja di luar kota dan hanya pulang beberapa kali dalam sebulan.

Setidaknya, dia tidak selalu sendirian.

♡♡♡

Nata terlambat! Karena menunggu angkot yang tak kunjung datang, dia menodai reputasinya sebagai anak teladan.

"Ria, lo dimana?" tanya Nata sedikit was-was ketika menyembunyikan diri dari Pak Kumis yang mengintai di depan gerbang tertutup. Beberapa anak terlambat sudah berbaris dan mulai melakukan serangkaian olahraga pagi, alias hukuman.

"Gue di kelas lah. Lo dimana? Jangan bilang lo telat!" Ria heboh di seberang telepon, membuat Nata memutar mata jengah. Dia yakin seluruh kelas akan tahu tentang hal ini.

"Haha, sukurin!"

Itu suara Sela, Nata yakin sekali. Bocah itu benar-benar!

Nata mengumpat. "Mau gimana lagi! Bapak angkotnya sengaja kayanya!"

"Lah, terus lo dimana sekarang?"

"Gue sembunyi di semak-semak depan sekolah," keluh Nata.

Ledakan tawa terdengar dari seberang telepon. Nata hanya bisa meratapi diri karena memiliki teman-teman kurang solidaritas.

"Ini lo speaker ya?! Sial Ria!" Nata baru menyadari suara tawa yang terlalu menggema itu jelas berasal dari seluruh kelas koplaknya.

"Eh, eh. Guru dateng. Gue tutup. Cemungut, Nata!"

"Ria--"

Terlambat. Sambungan telepon sudah diputus sepihak. Nata merapatkan rahang. Sebenarnya, mereka itu temannya bukan?

"Lo telat?"

"Ahh!!" Nata melonjak ketika suara rendah itu berbisik di telinga kanannya. Dia berbalik dan membeku seketika.

Senior MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang