Semoga aku tidak bertemu dengannya hari ini. Biarkan hariku ini berjalan lebih baik. Aku bergumam di dalam hati sebelum melangkah masuk ke dalam gedung fakultas. Menghela nafas panjang, aku melangkahkan kakiku mantap memasuki gedung fakultas. Tapi baru beberapa langkah aku melewati pintu masuk, gerakkan kakiku seketika terhenti ketika mataku menangkap sesosok makhluk yang sama sekali tidak aku harapkan kehadirannya. Harry. Dia adalah musuh bebuyutanku sejak SMA.
Entah kenapa aku bisa satu jurusan dengannya. Padahal setelah lulus SMA aku merasa sangat bahagia karena tidak akan pernah bertemu dengan dia lagi. Tapi kenyataan justru berkata lain. Menyebalkan memang.
Masih terdiam di posisiku, aku masih mendapati dirinya yang menatapku dengan misterius. Akhirnya, dengan menghela nafas panjang aku kembali melangkah maju. Pandangan mataku masih lurus menatap matanya, dan begitupun dengannya. Ketika aku mulai melewatinya, dengan sengaja aku menyenggol bahunya sambil menatapnya dengan sinis dan tersenyum miring.
Lihat Styles, aku sama sekali tidak takut kedapamu.
Dan sebelum aku mengalihkan pandanganku darinya, aku bisa melihat ekspresi wajah Harry yang kelihatan tidak terima. Dia tampak mengernyit kesal. Haha...aku suka melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu.
**
Ketika ada jeda yang cukup panjang sampai kelas kedua ku dimulai, seperti biasa aku bersama kedua temanku, Aurora dan juga Lyra, memilih untuk duduk di taman. Setelah membeli makanan dan juga minuman dari kantin, kami bertiga pergi ke taman belakang kampus dan langsung menempati tempat favorit kami. Duduk di atas rerumputan di bawah pohon rindang yang paling besar yang berada di tengah-tengah taman.
"Qi, apa kau masih bermusuhan dengan pria tampan itu?" Tanya Aurora kepadaku.
"Iya. Dan apa katamu tadi? Tampan? Tampan dari mana? Dia itu pria jelek yang menyebalkan."
Aurora tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, kelihatan tidak terima dengan ucapanku. "Seleramu terhadap pria memang benar-benar rendah. Pria setampan dia kau bilang jelek." Ujarnya, sambil kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku hanya bisa menghela nafas dan memutar mataku, merasa jengah karena kalimatnya itu. Temanku yang satu ini memang sama sekali tidak memihak kepadaku.
"Kenapa kau tidak berusaha untuk berdamai saja dengannya, Qi?" Ujar Lyra, berusaha memberikan saran.
Aku sedikit menggeleng. "Aku sudah mencobanya, tapi dianya tetap tidak mau berdamai denganku."
"Memangnya masalah macam apa yang sampai membuat kalian berdua bermusuhan seperti ini?" Tanya Aurora dengan wajah polosnya.
"Aku rasa kalian berdua sudah bosan mendengar cerita itu."
"Tapi sungguh, aku masih belum mengerti dengan masalah kalian itu." Ujar Aurora sambil menatapku. "Aku pikir itu hanya masalah sederhana, tapi kenapa kalian sampai bisa bermusuhan seperti ini?" Lanjutnya lagi, dengan nada bingung.
"Hal itu terjadi karena pria menyebalkan itu terlalu membesar-besarkan masalah. Seharusnya masalah ini sudah selesai, kalau memang dia mau memaafkanku sejak SMA. Hanya sesimple itu sebenarnya penyelesaiannya." Ujarku, dan Aurora tampak hanya terdiam menatapku. "Dan karena dia masih mengibarkan bendera perang, so yeah, I'll follow his game until he feels tired." Lanjutku, dan barulah Aurora menganggukkan kepalanya.
"Jadi kau sudah tidak kebingungan lagi?" Tanya Lyra kepada Aurora.
Aurora tampak terdiam sesaat lalu tersenyum kecil. "Hmm...sebenarnya aku masih merasa bingung. Jadi, apa kau bisa menjelaskannya lagi?"
Aku pun menghela nafasku panjang, sambil memejamkan mataku sesaat. Lyra juga melakukan hal yang sama denganku. Memang membutuhkan kesabaran penuh setiap kali menjelaskan tentang apapun kepada Aurora sampai dia benar-benar mengerti.
**
Berjalan bersama Aurora dan Lyra memasukki area parkir, lalu kami bertiga berpisah untuk menuju kendaraan masing-masing. Ketika aku baru membuka pintu mobil, tiba-tiba ada yang memanggil namaku dari kejauhan.
"Aquila! Qila!"
Kembali menutup pintu mobil, aku melangkah ke depan sambil mengarahkan kepalaku ke sekeliling. "Qila!" Panggilan itu kembali terdengar, dengan suara yang kian mendekat. Menolehkan kepalaku ke kanan, barulah aku menemukan keberadaan seseorang yang memanggilku. Lukas. Dia adalah salah satu teman Harry, dan hal itulah yang membuatku bingung. Secara naluriah aku mulai bersikap waspada, karena bisa saja si pria menyebalkan itu memberikan jebakkan kepadaku melalui temannya.
"Untung saja kau belum pulang." Ujar Lukas, dengan nafasnya yang sedikit tersengal.
"Ada apa?"
"Harry memintamu untuk menemuinya di perpustakaan fakultas."
Ini pasti jebakkan. Batinku berkata penuh dengan kewaspadaan, berusaha untuk mengingatkan diriku sendiri untuk tidak terpengaruh.
"Memangnya ada urusan apa dia denganku?" Tanyaku, dan Lukas tampak terdiam. Dia sedang berpikir.
Tapi kemudian, secara mengejutkan dia menarik tanganku, lalu sedikit mendorong tubuhku agar segera pergi. "Dia bilang urusan penting. Jadi, segeralah temui dia sebelum perpustakaan tutup."
"Tapi memangnya urusan penting macam apa?" Tanyaku kepada Lukas yang masih mendorong tubuhku keluar dari area parkir.
"Temui saja dia." Balasnya, yang kemudian berhenti mendorong tubuhku ketika sudah sampai di halaman depan perpustakaan fakultas.
Menoleh ke belakang tubuhku, Lukas tampak memberikan isyarat agar aku segera masuk ke dalam perpustakaan. Sambil mendengus kesal, akhirnya dengan setengah hati aku melangkahkan kakiku menuju pintu masuk. Ketika sudah berada di dalam, aku langsung mengarahkan pandanganku ke sekeliling, tapi tidak ada siapapun. Perpustakaan ini sudah sepi.
Selamat Qila, kau kembali masuk ke dalam jebakkan nya.
Mendengus kesal, aku berbalik untuk keluar. Tapi baru ingin membuka pintu, ada suara seseorang yang menyebut namaku. Lebih tepatnya menyebut nama panggilan yang paling aku benci.
"Oh, kau pasti Louise, temannya Harry?"
Kembali berbalik, aku melihat seorang penjaga perpustakaan wanita bertubuh gemuk yang menggunakan kaca mata berlensa tebal.
Aku tersenyum kecil kepadanya. "Iya, tapi sebenarnya kami bukan teman. Dan tolong panggil saja aku Aquila atau Qila." Balasku, lalu wanita itu tersenyum.
"Baiklah, Qila, kau bereskan buku-buku yang ada di meja sebelah sana, ya? Letakkan sesuai dengan kodenya. Kau mengerti, bukan? Tentu kau mengerti, kau kan bekerja paruh waktu sebagai penjaga perpustakaan kota." Ujar wanita itu, yang sungguh membuatku bingung.
"Maaf?" Tanyaku sambil mengernyit.
"Sekitar dua jam yang lalu Harry datang untuk mengembalikan buku, dan karena dia kasihan melihat diriku yang selalu membereskan buku-buku di perpustakaan ini sendirian, dia bilang, dia akan memintamu untuk membantuku. Benar-benar pria yang baik hati. Iya kan?" Jelas wanita itu, dan aku hanya bisa tersenyum kecil.
Baik hati apanya. Dan jika dia merasa kasihan kenapa bukan dirinya sendiri saja yang membantu wanita ini. Dan lagi, apa yang pria itu bilang? Aku bekerja sebagai penjaga perpustakaan paruh waktu? Dasar pria menyebalkan!
"Hmm...Aquila, kau jadi untuk membantuku, bukan?" Suara wanita itu kembali menyadarkanku.
Menghela nafasku panjang, aku mengangguk ke arahnya. Meletakkan tasku pada kursi terdekat, lalu aku mulai mengambil setumpukkan buku pada meja yang tadi ditunjuk oleh wanita itu dan melihat kodenya untuk aku susun sesuai pada tempatnya.
Baiklah Styles, kau bisa menang untuk kali ini. Tapi tidak untuk nanti.
***
Thank you yg udh nunggu dan balik lagi untuk baca part ini hehe...
Vote+comment nya ditunggu. See you :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Enemies
FanfictionAquila dan Harry. Jangan kira mereka berdua adalah dua orang yang berteman apalagi bersahabat. Ketika melihat mereka saling berpapasan pasti kalian akan langsung kaget dengan tatapan menyeramkan yang mereka berikan, seakan bersiap untuk membunuh sat...